SELAMAT ULANG TAHUN KE 46 PADA 17 JUNI 2010 SEMOGA PANJANG UMUR DAN TETAP SEHAT SERTA SUKSES SELALU

Sabtu, 18 April 2009

UASBN dan Ujian Nasional 2008/2009 Akan Di ikuti 10.297.816 Siswa

SUMBER http://diknas.go.id
16-04-2009 09:13:51
Jakarta, Rabu (15 April 2009)--Sebanyak 10.297.816 siswa akan mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) dan Ujian Nasional (UN) 2008/2009. Jumlah peserta UASBN SD/MI/SDLB sebanyak 4.514.024 siswa, sedangkan peserta UN SMP/MTs/SMPLB sebanyak 3.575.987 siswa. Adapun peserta UN SMA/MA/SMK sebanyak 2.207.805 siswa. Kelulusan ditargetkan mencapai 92 persen.

Hal tersebut disampaikan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (Ka BSNP) Mungin Eddy Wibowo saat memberikan keterangan pers di Gerai Informasi dan Media Depdiknas, Jakarta, Rabu (15/04/2009) .

Eddy menyampaikan, UASBN SD/MI/SDLB akan dilaksanakan pada 11-13 Mei 2009, sedangkan UN SMP/MTs/SMPLB akan dilaksanakan pada 27-30 April 2009. Adapun UN SMA akan digelar selama lima hari pada 20-24 April 2009. Sementara UN SMK/SMALB akan berlangsung selama tiga hari pada 20-22 April 2009.

"Mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan akan diujikan di sekolah yang akan dilakukan oleh guru," katanya.

Terkait persiapan penyelenggaraan UN dan UASBN, Eddy menyampaikan, pencetakan soal ujian telah dilakukan sejak 19 Maret 2009. Kemudian, kata dia, distribusi soal diharapkan tiga hari sebelum pelaksanaan ujian telah sampai di tingkat kabupaten/kota atau di rayon. "Sudah ada provinsi yang melakukan pendistribusian yaitu pada daerah-daerah yang jangkauannya jauh," katanya.

Eddy menyebutkan, penyelenggaraan ujian akan melibatkan sebanyak 1.030.000 pengawas. Setiap pengawas, kata dia, akan mengawasi sepuluh peserta didik. Penyelenggaraan ujian, lanjut dia, juga akan melibatkan tim pemantau independen dan pengawas satuan pendidikan dari unsur perguruan tinggi, widya iswara, dan asosiasi profesi non-PGRI sebanyak 55.265 orang. "Pengawasan dan pemantauan dilakukan pada ujian SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA/SMALB/ SMK," katanya.

Eddy menyebutkan, biaya penyelenggaraan UASBN sebanyak Rp.59.523.075. 000,00, sedangkan biaya UN SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA/SMALB/ SMK sebanyak Rp.296.099.583. 000,00. Kemudian, kata dia, biaya untuk pengawasan termasuk scanning sebanyak Rp.83 milyar.

Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas Burhanuddin Tolla mengatakan, paket soal UN dibuat berdasarkan pada standar kompetensi lulusan (SKL) lalu dikemas menjadi kisi-kisi soal. "Agar menjaga kebocoran soal maka dibuat paralel soal. Setiap provinsi bervariasi soalnya. Soal di DKI Jakarta berbeda dengan soal di Jawa Barat berbeda dengan soal di Aceh. Namun, kemungkinan ada yang sama sekitar lima sampai dengan sepuluh persen," katanya.

Mungin menambahkan, khusus untuk soal UASBN, penyelenggara tingkat pusat menyiapkan 25 persen butir soal, sedangkan penyelenggara tingkat provinsi menyiapkan 75 persen butir soal dan merakit master naskah soal. Adapun kriteria kelulusan UN Tahun 2008/2009 mengalami kenaikan nilai rata-rata 0,25 dibandingkan tahun 2007/2008, yaitu dari 5,25 menjadi 5,50.

Mungin menyampaikan, penyelenggaraan ujian juga akan diselenggarakan bagi sekolah Indonesia di luar negeri diantaranya di Belanda, Rusia, Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, Syria dan Filiphina.*** -GIM-

Tidak Gratis, Kena Sanksi

SUMBER http://diknas.go.id
03-04-2009 14:57:48 | Dibaca : 440
PURWOKERTO, -Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Soedibyo menyatakan, bupati berhak memberikan sanksi bagi sekolah yang tidak memberikan pendidikan dasar (dikdas) secara gratis."Sanksi bagi sekolah yang tidak memberikan pendidikan gratis tergantung pada Bupati," kata Mendiknas kepada wartawan seusai Sosialisasi Wajar Dikdas Gratis 9 Tahun dan PP No 74 Tahun 2008 Tentang Guru, di Pendapa Sipanji Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (3/4).

Menurut dia, sanksi tersebut harus jelas dan dipertegas dengan peraturan daerah (perda) dikdas gratis yang dibuat masing-masing kabupaten/kota.Disinggung mengenai masih banyaknya daerah yang belum membuat perda dikdas gratis, dia mengatakan, tanpa perda sebenarnya pendidikan gratis sudah berjalan dan dilaksanakan kepala sekolah. "Tetapi dengan perda, akan jelas mana yang boleh dan mana yang tidak," katanya.

Dengan demikian, keberadaan perda menjadi dasar aturan yang jelas kalau ada sekolah yang dikenai sanksi atau diproses oleh inspektorat jenderal atau diperiksa polisi.

Sebelumnya, saat menghadiri acara yang sama di Pendapa Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (2/4), Mendiknas mengatakan, pemerintah kabupaten/kota harus mempertegas peraturan daerah (perda) yang mengatur pendidikan dasar (dikdas) gratis. "Perda dikdas gratis yang dibuat pemerintah kabupaten/kota harus dipertegas," katanya.

Menurut dia, dalam perda tersebut harus dipertegas pula tentang pengelolaan dana operasional sekolah (BOS) termasuk sanksi bagi sekolah yang melanggarnya.

Ia mengatakan, perda pendidikan gratis di setiap kabupaten berbeda dengan daerah lain karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah.

"Pendidikan gratis bukan berarti semuanya dibebankan pada BOS karena dana BOS hanya sebatas pada biaya pendidikan," katanya. -KOMPAS.com-

Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru

SUMBER : DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN
TENAGA KEPENDIDIKAN
2008


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guru profesional dan bermartabat akan melahirkan anak-anak bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Beban kerja guru secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, namun demikian, masih diperlukan penjelasan tentang rincian penghitungan beban kerja guru dengan mempertimbangkan beberapa tugas-tugas guru di sekolah selain tugas utamanya sebagai pendidik. Guru adalah bagian yang tak terpisahkan dari komponen pendidikan lainnya yaitu peserta didik, kurikulum/program pendidikan, fasilitas, dan manajemen. Perencanaan guru harus berbasis pada jenis jurusan atau program keahlian, dan jumlah rombongan belajar yang dibuka di sekolah.

Terpenuhi atau tidaknya beban mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi jenis guru tertentu sebenarnya sudah dapat dideteksi pada saat jumlah guru yang dibutuhkan sudah dihitung. Sebagai contoh, apabila jumlah guru menurut hitungan dibutuhkan 2,25 orang dan disediakan sebanyak 2 orang saja, maka beban mengajar kedua guru tersebut masing-masing sudah 28 jam per minggu. Apabila dibutuhkan 2.5 orang guru dan tersedia 3 orang, maka salah satu guru tersebut tidak memenuhi jam tatap muka minimal 24 jam. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa rasio guru terhadap siswa sudah ideal, sebagai contoh pada jenjang SD 1:21, SMP 1:17, dan SMA 1:14. Namun apabila dilihat secara detail pada jenis guru tertentu di beberapa daerah dilaporkan terdapat kekurangan guru atau kelebihan guru. Kondisi sekolah yang memiliki kelebihan guru akan menyebabkan guru tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam per minggu. Sementara sekolah yang kekurangan guru akan menyebabkan beban kerja guru menjadi lebih tinggi dan proses pembelajaran menjadi tidak efektif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perencanaan guru di sekolah belum baik. Untuk itu disusunlah pedoman penghitungan beban kerja guru yang berisikan rumusan perhitungan beban kerja/tatap muka dan ekuivalensi tugas tambahan guru dengan jam tatap muka.
B. Tujuan
Pedoman ini menjadi acuan bagi guru, kepala sekolah, penyelenggara pendidikan, dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/ kota, dan warga sekolah serta pihak terkait lainnya untuk:
1. penghitungan beban kerja guru
2. mengoptimalkan tugas guru di sekolah
3. distribusi guru


BAB II
TUGAS GURU
A. Ruang Lingkup
Kewajiban guru sesuai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 35 ayat (1) mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyakbanyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Dalam melaksanakan tugas pokok yang terkait langsung dengan proses pembelajaran, guru hanya melaksanakan tugas mengampu 1 (satu) jenis mata pelajaran saja, sesuai dengan kewenangan yang tercantum dalam sertifikat pendidiknya. Disamping itu, guru sebagai bagian dari manajemen sekolah, akan terlibat langsung dalam kegiatan manajerial tahunan sekolah, yang terdiri dari siklus kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Rincian kegiatan tersebut antara lain penerimaan siswa baru, penyusunan kurikulum dan perangkat lainnya, pelaksanaan pembelajaran termasuk tes/ulangan, Ujian Nasional (UN), ujian sekolah, dan kegiatan lain. Tugas tiap guru dalam siklus tahunan tersebut secara spesifik ditentukan oleh manajemen sekolah tempat guru bekerja.

B. Jam Kerja
Sebagai tenaga profesional, guru baik PNS maupun bukan PNS dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban memenuhi jam kerja yang setara dengan beban kerja pegawai lainnya yaitu 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja (@ 60 menit) per minggu. Dalam melaksanakan tugas, guru mengacu pada jadwal tahunan atau kalender akademik dan jadwalpelajaran. Kegiatan tatap muka dalam satu tahun dilakukan kurang lebih 38 mingguatau 19 minggu per semester. Kegiatan tatap muka guru dialokasikan dalam jadwal pelajaran yang disusun secara mingguan. Khusus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ada kalanya jadwal pelajaran tidak disusun secara mingguan, tapi mengunakan sistim blok atau perpaduan antara sistim mingguan dan blok. Pada kondisi ini, maka jadwal pelajaran disusun berbasis semester, tahunan, atau bahkan per tiga tahunan. Diluar kegiatan tatap muka, guru akan terlibat dalam aktifitas persiapan tahunan/semester , ujian sekolah maupun Ujian Nasional (UN), dan kegiatan lain akhir tahun/semester.

C. Uraian Tugas Guru
1 Merencanakan Pembelajaran
Guru wajib membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada awal tahun atau awal semester, sesuai dengan rencana kerja sekolah. Kegiatan penyusunan RPP ini diperkirakan berlangsung selama 2 (dua) minggu atau 12 hari kerja. Kegiatan ini dapat diperhitungkan sebagai kegiatan tatap muka. 2 Melaksanakan Pembelajaran Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan dimana terjadi interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru, kegiatan ini adalah
kegiatan tatap muka yang sebenarnya. Guru melaksanakan tatap muka atau pembelajaran dengan tahapan kegiatan berikut.

a. Kegiatan awal tatap muka
 Kegiatan awal tatap muka antara lain mencakup kegiatan pengecekan dan atau penyiapan fisik kelas, bahan pelajaran,modul, media, dan perangkat administrasi.
 Kegiatan awal tatap muka dilakukan sebelum jadwal pelajaran yang ditentukan, bisa sesaat sebelum jadwal waktu atau beberapa waktu sebelumnya tergantung masalah yang perlu disiapkan,
 Kegiatan awal tatap muka diperhitungan setara dengan 1 jam pelajaran.

b. Kegiatan tatap muka
 Dalam kegiatan tatap muka terjadi interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru dapat dilakukan secara face to face atau menggunakan media lain seperti video, modul mandiri, kegiatan observasi/ekplorasi.
 Kegiatan tatap muka atau pelaksanaan pembelajaran yang dimaksud dapat dilaksanakan antara lain di ruang teori/kelas, laboratorium, studio, bengkel atau di luar ruangan.
 Waktu pelaksanaan atau beban kegiatan pelaksanaan pembelajaran atau tatap muka sesuai dengan durasi waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum sekolah.
c. Membuat resume proses tatap muka
 Resume merupakan catatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tatap muka yang telah dilaksanakan. Catatan
tersebut dapat merupakan refleksi, rangkuman, dan rencana
tindak lanjut.
 Penyusunan resume dapat dilaksanakan di ruang guru atau
ruang lain yang disediakan di sekolah dan dilaksanakan setelah
kegiatan tatap muka,
 Kegiatan resume proses tatap muka diperhitungan setara
dengan 1 jam pelajaran.
3 Menilai Hasil Pembelajaran
Menilai hasil pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan untuk
memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan
hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna untuk
menilai peserta didik maupun dalam pengambilan keputusan lainnya.
Pelaksanaan penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non
tes. Penilaian non tes dapat dibagi menjadi pengamatan dan
pengukuran sikap serta penilaian hasil karya dalam bentuk tugas,
proyek fisik, atau produk jasa.
a. Penilaian dengan tes.
 Tes dilakukan secara tertulis atau lisan, dalam bentuk ujian
akhir semester, tengah semester atau ulangan harian,
dilaksanakan sesuai kalender akademik atau jadwal yang telah
ditentukan,
 Tes tertulis dan lisan dilakukan di dalam kelas,
 Penilaian hasil test, dilakukan diluar jadwal pelaksanaan test,
dilakukan di ruang guru atau ruang lain.
 Penilaian test tidak dihitung sebagai kegiatan tatap muka karena
waktu pelaksanaan tes dan penilaiannya menggunakan waktu
tatap muka.
b. Penilaian non tes berupa pengamatan dan pengukuran sikap.


 Pengamatan dan pengukuran sikap dilaksanakan oleh semua
guru sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses pendidikan,
untuk melihat hasil pendidikan yang tidak dapat diukur lewat test
tertulis atau lisan,
 Pengamatan dan pengukuran sikap dapat dilakukan di dalam
kelas menyatu dalam proses tatapmuka pada jadwal yang
ditentukan, dan atau di luar kelas,
 Pengamatan dan pengukuran sikap, dilaksanakan diluar jadual
pembelajaran atau tatap muka yang resmi, dikategorikan
sebagai kegiatan tatap muka.
c. Penilaian non tes berupa penilaian hasil karya.
 Hasil karya siswa dalam bentuk tugas, proyek dan atau produk,
portofolio, atau bentuk lain dilakukan di ruang guru atau ruang
lain dengan jadwal tersendiri,
 Penilaian ada kalanya harus menghadirkan peserta didik agar
tidak terjadi kesalahan pemahanan dari guru mengingat cara
penyampaian informasi dari siswa yang belum sempurna,
 Penilaian hasil karya ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan
tatap muka, dengan beban yang berbeda antara satu mata
pelajaran dengan yang lain. Tidak tertutup kemungkinan ada
mata pelajaran yang nilai beban non tesnya sama dengan nol.
4 Membimbing dan Melatih Peserta Didik
Membimbing dan melatih peserta didik dibedakan menjadi tiga yaitu
membimbing atau melatih peserta didik dalam pembelajaran,
intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
a. Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran
 Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran adalah
bimbingan dan latihan yang dilakukan menyatu dengan proses
pembelajaran atau tatap muka di kelas,
b. Bimbingan dan latihan pada kegiatan intrakurikuler
 Bimbingan kegiatan intrakurikuler terdiri dari remedial dan
pengayaan pada mata pelajaran yang diampu guru.
 Kegiatan remedial merupakan kegiatan bimbingan dan latihan
kepada peserta didik yang belum menguasai kompetensi yang  Pengamatan dan pengukuran sikap dilaksanakan oleh semua
guru sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses pendidikan,
untuk melihat hasil pendidikan yang tidak dapat diukur lewat test
tertulis atau lisan,
 Pengamatan dan pengukuran sikap dapat dilakukan di dalam
kelas menyatu dalam proses tatapmuka pada jadwal yang
ditentukan, dan atau di luar kelas,
 Pengamatan dan pengukuran sikap, dilaksanakan diluar jadual
pembelajaran atau tatap muka yang resmi, dikategorikan
sebagai kegiatan tatap muka.
c. Penilaian non tes berupa penilaian hasil karya.
 Hasil karya siswa dalam bentuk tugas, proyek dan atau produk,
portofolio, atau bentuk lain dilakukan di ruang guru atau ruang
lain dengan jadwal tersendiri,
 Penilaian ada kalanya harus menghadirkan peserta didik agar
tidak terjadi kesalahan pemahanan dari guru mengingat cara
penyampaian informasi dari siswa yang belum sempurna,
 Penilaian hasil karya ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan
tatap muka, dengan beban yang berbeda antara satu mata
pelajaran dengan yang lain. Tidak tertutup kemungkinan ada
mata pelajaran yang nilai beban non tesnya sama dengan nol.
4 Membimbing dan Melatih Peserta Didik
Membimbing dan melatih peserta didik dibedakan menjadi tiga yaitu
membimbing atau melatih peserta didik dalam pembelajaran,
intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
a. Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran
 Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran adalah
bimbingan dan latihan yang dilakukan menyatu dengan proses
pembelajaran atau tatap muka di kelas,
b. Bimbingan dan latihan pada kegiatan intrakurikuler
 Bimbingan kegiatan intrakurikuler terdiri dari remedial dan
pengayaan pada mata pelajaran yang diampu guru.
 Kegiatan remedial merupakan kegiatan bimbingan dan latihan
kepada peserta didik yang belum menguasai kompetensi yang Pengamatan dan pengukuran sikap dilaksanakan oleh semua
guru sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses pendidikan,
untuk melihat hasil pendidikan yang tidak dapat diukur lewat test
tertulis atau lisan,
 Pengamatan dan pengukuran sikap dapat dilakukan di dalam
kelas menyatu dalam proses tatapmuka pada jadwal yang
ditentukan, dan atau di luar kelas,
 Pengamatan dan pengukuran sikap, dilaksanakan diluar jadual
pembelajaran atau tatap muka yang resmi, dikategorikan
sebagai kegiatan tatap muka.
c. Penilaian non tes berupa penilaian hasil karya.
 Hasil karya siswa dalam bentuk tugas, proyek dan atau produk,
portofolio, atau bentuk lain dilakukan di ruang guru atau ruang
lain dengan jadwal tersendiri,
 Penilaian ada kalanya harus menghadirkan peserta didik agar
tidak terjadi kesalahan pemahanan dari guru mengingat cara
penyampaian informasi dari siswa yang belum sempurna,
 Penilaian hasil karya ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan
tatap muka, dengan beban yang berbeda antara satu mata
pelajaran dengan yang lain. Tidak tertutup kemungkinan ada
mata pelajaran yang nilai beban non tesnya sama dengan nol.
4 Membimbing dan Melatih Peserta Didik
Membimbing dan melatih peserta didik dibedakan menjadi tiga yaitu
membimbing atau melatih peserta didik dalam pembelajaran,
intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
a. Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran
 Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran adalah
bimbingan dan latihan yang dilakukan menyatu dengan proses
pembelajaran atau tatap muka di kelas,
b. Bimbingan dan latihan pada kegiatan intrakurikuler
 Bimbingan kegiatan intrakurikuler terdiri dari remedial dan
pengayaan pada mata pelajaran yang diampu guru.
 Kegiatan remedial merupakan kegiatan bimbingan dan latihan
kepada peserta didik yang belum menguasai kompetensi yang
harus dicapai,


 Kegiatan pengayaan merupakan kegiatan bimbingan dan latihan
kepada peserta didik yang telah mencapai kompetensi,
 Pelaksanaan bimbingan dan latihan intrakurikuler dilakukan
dalam kelas pada jadwal khusus, disesuaikan kebutuhan, tidak
harus dilaksanakan dengan jadwal tetap setiap minggu,
 Beban kerja intrakurikuler sudah masuk dalam beban kerja tatap
muka.
c. Bimbingan dan latihan dalam kegiatan ekstrakurikuler.
 Ekstrakurikuler bersifat pilihan dan wajib diikuti peserta didik,
 Dapat disetarakan dengan mata pelajaran wajib lainnya,
 Pelaksanaan ekstrakurikuler dilakukan dalam kelas dan atau
ruang/tempat lain sesuai jadwal mingguan yang telah ditentukan
dan biasanya dilakukan pada sore hari,
 Jenis kegiatan ekstrakurikuler antara lain adalah.
- Pramuka
- Olimpiade/Lomba Kompetensi Siswa
- Olahraga
- Kesenian
- Karya Ilmiah Remaja
- Kerohanian
- Paskibra
- Pecinta Alam
- PMR
- Jurnalistik/Fotografi
- UKS
- dan sebagainya
 Kegiatan ekstrakurikuler dapat disebut sebagai kegiatan tatap
muka
5 Melaksanakan Tugas Tambahan
Tugas-tugas tambahan guru dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
kategori yaitu tugas struktural, dan tugas khusus.
a. Tugas tambahan struktural
 Tugas tambahan struktural sesuai dengan ketentuan tentang
struktur organisasi sekolah,
 Jenis tugas tambahan sruktural dan wajib tatap muka guru
seperti tercantum dalam Tabel 1.


b. Tugas tambahan khusus
 Tugas tambahan khusus hanya berlaku pada jenis sekolah
tertentu, untuk menangani masalah khusus yang belum diatur
dalam peraturan yang mengatur organisasi sekolah.
 Jenis tugas tambahan khusus dan ekuivalensi beban tatap
muka seperti tercantum dalam Tabel 1.


Tabel 1. Jenis Tugas Tambahan Guru.
Catatan:
1. * nilai minimal
2. ** tergantung jenis sekolah
D. Beban Tatap Muka
Jenis kegiatan guru yang dikategorikan tatap muka dan bukan tatap muka
dicantumkan dalam Tabel 2. Dalam tabel tersebut juga dicantumkan
ekuivalensi jam untuk kegiatan tatap muka selain kegiatan tatap muka di
kelas.
No Kategori Jenis Tugas Tambahan Wajib mengajar *ekuivalensijabatan
I Struktural 1. Kepala Sekolah 6 18
2.Wakil KepalaSekolah 12 12
3.KepalaPerpustakaan 12 12
4.KepalaLaboratorium 12 12
5.Ketua Jurusan
Program Keahlian 12 12
6. Kepala Bengkel 12 12
7. Dll ** 12 12
II Khusus 1.
Pembimbing
Praktek Kerja
Industri
12 12
2.
Kepala Unit
Produksi
12 12
Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru 9
Tabel 2 Jenis Guru dan Beban Tatap Muka
Kategori
No Jenis Kegiatan Guru
TM BTM
Ekuivalensi
jam/
minggu*
Keterangan
1 Merencanakan pembelajaran v 2
2. Melaksanakan pembelajaran:
a. Kegiatan awal tatap muka v 2
b. Kegiatan tatap muka di kelas v
c. Membuat resume tatap muka v 2
3. Menilai hasil pembelajaran
a. Penilaian tes v 0
b. Penilaian sikap v 2 Semua guru
c. Penilaian karya v 2 Mata pelajaran tertentu
4. Membimbing dan melatih
a. Bimbingan pada tatap muka v 0
b. Bimbingan intrakurikuler v 0
c. Bimbingan ekstrakurikuler v 2
5.
Melaksanakan tugas
tambahan
a. Kepala sekolah 18
b. Wakil kepala sekolah 12
c. Kepala perpustakaan 12
d. Kepala laboratorium 12
e. Ketua jurusan/program 12
f. Kepala bengkel 12
g.
Pembimbing praktek kerja
industri
12 Hanya di SMK
h. Kepala unit produksi 12 Hanya di SMK
i. Tugas lain 6
Seuai kebutuhan
sekolah
Catatan:
TM = Tatap Muka
BTM = Bukan Tatap Muka
* = beban kerja tidak dikalikan jumlah rombongan belajar
E. Kondisi Penyebab Kekurangan Jam Mengajar.
Seorang guru tidak dapat memenuhi jumlah jam mengajar sebanyak 24
(dua puluh empat) jam tatap muka per minggu disebabkan salah satu atau
beberapa kondisi sebagai berikut.
1. Jumlah peserta didik dan rombongan belajar terlalu sedikit
Jumlah peserta didik terlalu sedikit atau jumlah rombongan belajar
juga sedikit, akan mengakibatkan jumlah jam tatap muka untuk mata
pelajaran tertentu belum mencapai angka 24 jam per minggu. Agar
jumlah beban mengajar mencapai 24 jam atau kelipatannya,
dibutuhkan jumlah rombongan belajar yang memadai.



2. Jam pelajaran dalam kurikulum sedikit
Jumlah jam pelajaran mata pelajaran tertentu dalam struktur kurikulum
ada yang hanya 2 jam per minggu antara lain Bahasa asing lain,
Sejarah, Agama, Penjas, Kesenian, Kewirausahaan, Muatan Lokal,
Keterampilan, dan Pengembangan Diri mengakibatkan guru yang
mengajar pelajaran tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban minimal
24 jam tatap muka per minggu.
3. Jumlah guru di satu sekolah untuk mata pelajaran tertentu terlalu
banyak
Kondisi ini biasanya terjadi kerena kesalahan dalam proses
rekruitmen atau karena perubahan beban mengajar guru dari 18 jam
menjadi 24 jam pelajaran per minggu. Jumlah guru yang melebihi dari
kebutuhan yang direncanakan, mengakibatkan ada guru yang tidak
dapat mengajar 24 jam per minggu.
4. Sekolah pada daerah terpencil atau sekolah khusus
Sekolah yang berlokasi di daerah terpencil biasanya memiliki jumlah
peserta didik yang sedikit. Kondisi ini terjadi karena populasi
penduduk juga sedikit
Sekolah khusus yang karena kekhususan programnya, jumlah peserta
didiknya sangat sedikit. Karena rombongan belajarnya sedikit,
mengakibatkan guru mengajar tidak sampai 24 jam per minggu. Salah
satu contoh adalah sekolah luar biasa, dimana jumlah muridnya
memang sedikit. Contoh lain pada Program Keahlian Pedalangan di
SMK. Animo terhadap program keahlian ini sangat sedikit, tapi
memiliki nilai strategis melestarikan budaya seni tradisi. Animo pada
program keahlian yang terkait dengan sektor pertanian pada daerah
tertentu juga rendah.




BAB III
PEMENUHAN BEBAN KERJA
A. Alternatif Pemenuhan
Guru yang tidak memenuhi kewajiban mengajar 24 jam tatap muka per
minggu dapat memilih alternatif pemenuhan kewajiban mengajar seperti
berikut ini.
1. Mengajar pada sekolah lain, pendidikan terbuka, dan kelompok
belajar.
a. Mengajar pada sekolah atau madrasah lain
Wajib mengajar 24 jam tatap muka per minggu dapat dipenuhi
seorang guru dengan mengajar di sekolah atau madrasah lain
baik negeri maupun swasta pada kabupaten/kota yang sama
sesuai mata pelajaran yang diampu. Sebagai contoh, misalnya
(1) guru bahasa Inggris di suatu SMK mengajar bahasa Inggris di
SMP/MTs, SMA/MA atau SMK/MAK lainnya, (2) Guru Kejuruan
SMK mengajar keterampilan di SMP/MTs atau SMA/MA.
b. Menjadi Guru Bina/Pamong pada SMP Terbuka
SMP Terbuka merupakan salah satu pola layanan pendidikan
yang diperuntukkan bagi peserta didik yang pada pagi hari bekerja
membantu orangtua sehingga tidak mempunyai waktu untuk
mengikuti pembelajaran di sekolah reguler. Pola pelaksanaan
SMP Terbuka mensyaratkan adanya Guru Pamong dan Guru Bina
yang membantu dan membimbing peserta didik dalam
melaksanakan pembelajaran. Guru Pamong menuntun peserta
didik di Tempat Kegiatan Belajar (TKB). Guru Bina membimbing
dan melaksanakan pembelajaran tatap muka di sekolah induk.
Guru Pamong merupakan anggota masyarakat yang ditugasi
untuk membimbing kegiatan belajar siswa di TKB. Namun, tidak
menutup kemungkinan guru yang mengajar di sekolah juga
menjadi guru pamong di TKB dan bertugas sebagai fasilitaor.
c. Menjadi Tutor pada program kelompok belajar Paket A, Paket B,
dan Paket C
Seorang guru dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam per
minggu dengan mengajar di Kelompok belajar Paket A, Paket B,
dan Paket C pada kabupaten/kota yang sama sesuai mata
pelajaran yang diampu.


Pemenuhan beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu
dengan mengajar di sekolah lain atau pada pendidikan nonformal
dapat dilaksanakan dengan ketentuan minimal mengajar 12 (dua
belas) jam tatap muka per minggu pada satuan pendidikan di mana
guru diangkat sebagai guru tetap. Bagi guru yang mengajar atau
bertugas di sekolah lain, harus memenuhi persyaratan beban kerja
maksimum seperti tercantum dalam Tabel .3 .
Tabel 3. Beban Kerja Maksimum Mengajar di Sekolah Lain.
No Tugas
Beban
Kerja
maksimum
Keterangan
1 Mengajar di sekolah lain (dgn
mata pelajaran yang sama)
12 Sesuai tugas beban jam
pelajaran
2 Guru Bina SMP Terbuka (sesuai
mata pelajaran)
2 Khusus untuk kunjungan ke
TKB.
Bimbingan belajar siswa SMP
Terbuka di sekolah induk
dihitung sebagai beban jam
pelajaran reguler
3 Guru Pamong SMP Terbuka 2 Tugasnya lebih banyak pada
administrasi pembelajaran
sesuai dengan jadwal belajar
di TKB
4 Tutor pada pendidikan non formal
(sesuai mata pelajaran)
2 Jumlah jam pelajaran sesuai
dengan jadwal
2. Melaksanakan Team Teaching
Guru tetap yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal 24 (dua
puluh empat) jam tatap muka dan maksimal 40 (empat puluh) jam
tatap muka per minggu pada satuan pendidikan di mana dia diangkat
sebagai guru tetap, dapat memenuhi beban kerjanya melalui sistem
tim pengajaran bersama (team teaching).
Team teaching memiliki prinsip bahwa dalam satu kelompok belajar
untuk satu mata pelajaran diampu oleh lebih dari satu orang guru.
Akan ada dua atau tiga orang guru yang menangani satu jam
pelajaran dalam satu rombongan belajar, di mana satu di antaranya
mengajar dan menyampaikan pelajaran serta yang lainnya bertindak
sebagai observer atau fasilitator. Melalui team teaching selain
terakomodasi aspek metode pembelajarannya, juga akan dapat
diawasi aspek lain untuk mengetahui tingkat pemahaman murid.
Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru 13
Team teaching dapat dilakukan oleh guru-guru dalam satu sekolah
yang sama atau oleh guru-guru dari sekolah yang berbeda.
Team teaching bisa dilaksanakan apabila tuntutan kurikulum
membutuhkan lebih dari satu orang guru untuk menangani satu
rombongan belajar yang proses pembelajarannya merupakan satu
kesatuan (tidak bisa dipisahkan tempatnya). Masing-masing guru
dalam satu proses pembelajaran memiliki tugas masing-masing yang
dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dalam satu rombongan
belajar.
3. Melaksanakan Pengayaan dan Remedial khusus
Guru tetap yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal 24 (dua
puluh empat) jam tatap muka dan maksimal 40 (empat puluh) jam
tatap muka per minggu pada satuan pendidikan di mana dia diangkat
sebagai guru tetap, dapat diberi tugas melaksanakan pengayaan dan
remedial khusus.
Pengayaan dan remedial khusus memiliki prinsip bahwa penugasan
secara khusus bagi satu orang guru untuk kelompok peserta didik
yang memerlukan bimbingan secara khusus. Guru yang medapat
tugas tersebut disetarakan dengan beban mengajar 2 jam perminggu.
B. Kondisi Khusus dengan Persetujuan Menteri
Ada kondisi bagi guru yang secara konstektual tidak mungkin memiliki
beban mengajar 24 jam. Kondisi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus;
b. berkeahlian khusus dan/atau;
c. dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional
Kondisi khusus yang dimintakan persetujuan Menteri Pendidikan Nasional
sebagaimana tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Kondisi Khusus
No Kondisi Alternatif Keterangan
1 Lokasi di daerah
terpencil/kepulauan
/perbatasan
dengan negara lain
Dapat dipenuhi dengan
mengajar multisubject dan
multigrade
Jumlah siswa/rombel sedikit,
tidak ada sekolah lain yang
bisa dijangkau
2 Bidang keahlian
langka
Pedalangan, kelautan,
mekatronika
3 Sekolah Indonesia
di Luar Negeri
Dapat dipenuhi dengan
mengajar multisubject dan
multigrade
Jumlah siswa/rombel sedikit,
tidak ada sekolah lain yang
bisa dijangkau
4 Dalam keadaan
darurat
bencana/konflik
Dapat dipenuhi dengan
mengajar multisubject dan
multigrade
Tidak selamanya (sementara)
5 Jumlah Jam
Pelajaran dalam
Struktur Kurikulum
Sedikit dan
rombelnya sedikit
Dapat dipenuhi dengan
ekstra kurikuler
Mata pelajaran: Bahasa asing





BAB IV
PERHITUNGAN BEBAN KERJA GURU
A. Acuan Beban Kerja
Satuan waktu kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada masingmasing satuan pendidikan dicantumkan dalam tabel 5 sebagai berikut.
Tabel 5. Alokasi Waktu Satu Jam Tatap Muka.
No Jenis Sekolah
Alokasi waktu
satu jam tatap
muka (menit)
Jumlah jam tatap muka
per minggu
1. SD/SDLB:
- Kelas I s.d III 35 29 s.d 32
- kelas IV s.d VI 35 34
2. SMP, MTs, SMPLB 40 34
3. SMA, MA, SMALB 45 38 s.d 39
4. SMK, MAK 45 38 s.d 39
Sumber Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006
tentang Standar Isi
Dari angka dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa beban tatap muka
dalam satu minggu kerja untuk tiap jenjang pendidikan berbeda.
Beban kerja guru yang dapat dihitung sebagai pemenuhan kewajiban
mengajar 24 jam tatap muka per minggu adalah jumlah jam kerja guru
apabila mengajar pada mata pelajaran sesuai dengan bidang keahliannya.
Misalnya guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai guru mata
pelajaran Matematika, maka jam kerja yang dapat dihitung adalah jumlah
jam mengajar guru tersebut pada mata pelajaran Matematika saja.
Perhitungan beban kerja guru adalah bagian tak terpisahkan dari
perencanaan kebutuhan guru dalam perencanaan sekolah seutuhnya.
Terpenuhi atau tidaknya beban mengajar 24 jam tatap muka per minggu
bagi jenis guru tertentu sebenarnya sudah dapat dideteksi pada saat
jumlah guru yang dibutuhkan sudah dihitung. Sebagai contoh, jumlah guru
menurut hitungan dibutuhkan 2,25 orang dan disediakan sebanyak 2
orang saja, maka beban mengajar kedua guru tersebut masing-masing
sudah 28 jam per minggu. Apabila menurut perhitungan dibutuhkan 2,8
orang guru dan disediakan 3 orang, maka masing-masing guru akan
mendapat beban tatap muka 22,4 jam per minggu. Apabila disediakan 2
orang, masing-masing akan mengajar 33,6 jam per minggu.
Perhitungan beban guru mengacu pada jumlah kebutuhan guru yang
dihasilkan dalam proses perencanaan guru pada tingkat sekolah. Dengan
mempertimbangkan tugas tambahan bagi guru tertentu, maka jam tatapmuka didistribusikan kepada guru yang ada. Dari analisis ini akan
didapatkan guru yang mengajar minimal 24 jam dan kurang dari 24 jam.
Bagi guru yang tidak memenuhi 24 jam mengajar dicarikan penyelesaian
masalahnya sesuai dengan kondisi dan kewenangan fihak yang berhak
mengambil keputusan. Bagi guru yang memenuhi mengajar minimal 24
jam, dibuatkan Surat Keputusan mengajar oleh kepala sekolah.



BAB V
PENUTUP
Pemenuhan kewajiban mengajar selama 24 jam tatap muka per minggu
merupakan sebuah konsekuensi yang harus dilakukan oleh seorang guru
untuk memperoleh tunjangan guru. Pemenuhan kewajiban 24 jam juga bisa
merupakan solusi dari pemerataan guru. Langkah ini juga dilakukan sebagai
upaya agar tidak terjadi ketimpangan jam mengajar antara guru di sekolah
yang satu dan sekolah yang lain. Di samping itu untuk mengantisipasi tidak
optimalnya pemberdayaan guru, maka diperlukan perhitungan dan pemetaan
guru di setiap kabupaten/kota dengan lebih baik.
Program mutasi bagi guru-guru di semua sekolah yang ada di dalam satu
Kabupaten/Kota sudah seharusnya dilakukan, karena dapat menjadi salah
satu solusi pemenuhan beban kerja guru dan menumpuknya guru di sekolah
perkotaan. Sekolah yang kekurangan guru akan mendapat tambahan guru
dari sekolah lain. Begitu pun sekolah yang kelebihan guru, nanti akan dilihat
guru mata pelajaran mana saja yang kira-kira bisa dikurangi untuk
dipindahkan ke sekolah yang kekurangan. Guru-guru yang menjelang
pensiun dalam jangka dua atau tiga tahun ke depan perlu mendapat
perhatian, karena jika di satu sekolah ada guru yang pensiun, maka akan ada
guru yang dirotasi karena akan menggantikan guru yang pensiun.
Berhasilnya implementasi pemenuhan beban kerja guru sangat bergantung
pada pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dari
segenap unsur yang terkait, serta dukungan pemerintah dan masyarakat.
Keberhasilan pelaksanaan pemenuhan beban kerja guru juga menjadi
harapan nyata bagi pembangunan pendidikan, pembangunan guru profesional
yang mampu menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif
secara adil, bermutu, dan relevan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia dan
global.
Penyebaran guru yang tidak merata menimbulkan terjadinya pendayagunaan
guru yang tidak efisien di beberapa tempat. Guru yang tidak dapat memenuhi
kewajiban mengajar 24 jam tatap muka per minggu disarankan untuk
mutasi/pindah ke sekolah lain yang kekurangan guru. Pengaturan tentang
pemindahan guru mengikuti kebijakan masing-masing pemerintah daerah
melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat.

Kamis, 16 April 2009

Workshop FPBI

Sumber :juga guru.com
Minggu, 28 Desember 2008

Workshop FPBI dan Perubahan Kepmenkowasbangpan 25/1999

Bandung, 9 Desember 2008. Salah satu binaan asosiasi/forum PTK-PNF adalah Forum Pamong Belajar Indoenesia atau FPBI, sebuah forum yang beranggotakan para pamong belajar yang ada di seluruh Indonesia. Dalam kesempatan ini FPBI yang dihadiri oleh perwakilan DPD-DPD dari seluruh Indonesia FPBI mengadakan Workshop Nasional di Bandung.
Direktur PTK-PNF, Erman Syamsuddin, dalam kesempatan ini diundang untuk dapat memberikan arahan-arahan mengenai kebijakan terbaru Dit. PTK-PNF bagi pamong belajar. Dalam arahannya Erman mengungkapkan bahwa saat ini pamong belajar adalah satu tombak dari kemajuan pendidikan nonformal atau yang sering kali ia sebutkan bahwa khusus untuk Pamong Belajar harus ‘dapat berdiri di depan atau sesama’, sebagai PTK yang bisa berdiri di setiap sisi untuk mengembangkan pendidikan nonformal, terlebih lagi status dari Pamong Belajar sebagai PNS.
Saat ini jumlah Pamong Belajar dari data by name dari Dit. PTK-PNF bulan Spetember 2008 dari sejumlah 3,599 orang Pamong Belajar ternyata yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 60,1 % dan sisanya adalah perempuan, dari sisi ini sesungguhnya genderitas sudah terpenuhi. Sedangkan dari sisi kualifikasi hampir 75% sudah lulus S1, hampir memenuhi tuntutan dari PP 19/2003. Namun yang menjadi perhatian adalah kenaikan golongan dari IVa ke IVb yang tertahan di Iva, dari 368 yang berpangkat IVa yang dapat menuju IVb baru sejumlah 8 orang, ini diperlukan sebuah perhatian khusus.
Kemudian Erman menjelaskan berkenaan dengan hal tersebut bahwa untuk diklat-diklat yang akan diadakan selanjutnya agar diprioritaskan agar Pamong Belajar yang golongan IVa diberikan diklat yang diberikan untuk dapat mencapai IVb.
Ia kemudian melanjutkan bahwa saat ini Dit. PTK-PNF sedang melakukan perubahan Menkowasbangpan No 25/1999 guna mendukung jaminan karir bagi Pamong Belajar yang berubah oleh karena adanya perubahan sistem pemerintahan (dari Sistem Desentralisasi ke Dekonsentrasi), konsekwensi atas Peraturan Perundangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005, PP No. 19 Tahun 2005) dan tuntutan kebutuhan lapangan (peningkatan kualitas layanan pendidikan). Perubahan-perubahan yang dilakukan antara lain ada pada rumpun jabatan, kedudukan, tugas pokok, jenjang jabatan dan sasaran program.
Dalam rumpun jabatan pamong Belajar tidak lagi sebagai tenaga fungsional yang semula rumpun jabatannya adalah terampil dan ahli kini hanya menjadi ahli saja. Sudah barang tentu keputusan ini berakibat perubahan pada rincian tugasnya dan pemenuhan kualifikasi bagi seluruh Pamong Belajar untuk menjadi S1. Oleh karena FPBI diharapkan juga mampu memberikan pemikiran bagaimana upaya untuk segera dapat men S1 kan Pamong Belajar yang belum mendapatkannya.
Kedudukan yang awalnya adalah Tenaga Fungsional Teknis menjadi Pendidik Profesional, perubahan ini didasarkan kepada UU Nomor 20/2003 Pasal 1 ayat 6 bahwa pendidik adalah tenaga yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebutan ’Profesional’ pada Pamong Belajar ini membutuhkan sebuah tindak lanjut berupa kompetensi-kompetensi yang perlua ditingkatkan sehingga Pamong Belajar dapat mencapai sebutan profesionalisme tersebut.
Kemudian untuk tugas pokoknya yang semula adalah melaksanakan pengembangan model program PLSPO, melaksanakan KBM dalam rangka pengembangan model dan pembuatan percontohan program PLSPO serta melaksanakan penilaian dalam rangka pengendalian mutu dan dampak pelaksanaan program PLSPO menjadi menyusun rencana, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran/pelatihan/pembimbingan, mengkaji program, serta mengembangkan program pendidikan nonformal dan informal (hasil rapat terakhir tgl. 20 november 2008). Yang menarik dari perubahan tupoksi ini ada pada ketika seorang Pamong Belajar diharuskan mempunyai kemampuan untuk mengkaji program yang ada, mampu melakukan pemetaan SDM, dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan, sudah barang tentut ini membutuhkan sebuah kemampuan yang harus capable.
Begitu juga dengan jenjang jabatannya yang semula untuk jabatan Terampil terdiri dari Pelaksana, Pelaksana Lanjutan, dan Penyelia sedangkan untuk Ahli adalah Pertama, Muda, dan Madya menjadi hanya Ahli saja dengan jenjang Pertama, Muda, Madya dan Utama, sehingga Pamong Belajar diharapkan mampu sampai kepada jenjang IVe seperti halnya Guru dan Dosen. Diharapkan dengan adanya perubahan pada jenjang jabatan sekaligus dapat memberikan karir yang jelas kepada Pamong Belajar seperti halnya dengan Guru dan Dosen.
Yang menarik lagi Erman menyebutkan bahwa untuk pemenuhan layanan pendidikan nonformal sedang dipikirkan bagaimana kiranya apabila Pamong Belajar dapat yang selama ini ada pada P2PNFI, BPKB/Provinsi dan SKB/Kabupaten/Kota akan lebih di turunkan pada tingkat kecamatan pada satuan pendidikan untuk dapat memberikan layanan. Dengan pemikiran bahwa ternyata pada tingkatan tersebut perlu dilakukan pendampingan oleh Pemerintah, dan juga pada level ini lah sesungguhnya pendidikan nonformal harus dapat terlayani dengan sebaik-baiknya.
Terakhir dalam pemaparannya, Erman menawarkan bagi Pamong Belajar yang menginginkan menambah wawasan dan pengalaman untuk menjadi tutor di Sabah, sebuah wilayah bagian dari Malaysia yang penduduknya kebanyakan orang-orang Indonesia yang berasal dari Bugis, Ambon dan Jawa. Mereka ini adalah para pekerja sawit yang tidak mendapatkan layanan pendidikan dengan baik karena kebijakan dari Pemerintah Malaysia yang agak ketat untuk anak-anak Indonesia tersebut mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Progam ini kelanjutan pengiriman 109 guru sebagai pengganti 109 guru tidak tetap yang telah habis masa kerjanya , yaitu sebanyak 51 orang yang habis masa kontraknya pada bulan Agustus 2008 dan 58 orang yang akan habis masa kontraknya pada bulan agustus 2009. Selain itu, menurut Erman tempatnya sudah cukup memadai, bahkan honor yang diberikan dari luar gaji juga sudah cukup memenuhi kebutuhan dari Tutor tersebut.
Ketika Erman berkesempatan mendengarkan keluhan dari utusan DPD-DPD Pamong Belajar yang ada dari seluruh Indonesia mendapatkan informasi-informasi yang cukup membesarkan hati seperti ternyata dari Provinsi Jawa Barat seperti pada Kota Bandung ternyata saat ini sudah ada 11 SKB, menginginkan kehadiran adanya BPKB Jawa Barat berkenaan dengan beban tugas dari P2PNFI Regional I yang sudah cukup berat, adanya rasionalisasi untuk jumlah Pamong Belajar dan adanya rasionalisasi dari perubahan Kepmenkowasbangpan 25/1999 tersebut dengan kemampuan serta alat dukung lainnya, begitu juga dengan tugas baru untuk mengkaji program.
Menanggapi hal tersebut, Erman mengungkapkan kegembiraannya dengan terbentuknya 11 SKB di Kota Bandung, walau demikian menurut Erman perlu juga diperhatikan apa yang sudah dan akan dilakukan di SKB-SKB tersebut sehingga bisa membantu dari pengembangan pendidikan nonformal. Ia mencontohkan Kabupaten Kutai Kertanegara mempunyai 9 SKB, dengan alasan untuk memenuhi layanan yang diberikan karena medan wilayahnya berupa perairan atau sungai-sungai, sehingga transportasi menjadi mahal bila hanya ada 1 SKB saja. Lalu untuk BPKB di Jawa Barat menurut Erman agar P2PNFI dapat lebih focus lagi memberikan perhatian kepada daerah-daerah yang dipangkunya, walau demikian jika memang daerah menginginkan adanya BPKB maka dari Pusat akan dapat mendukungnya dengan sepenuh hati.
Menambahkan jawaban dari Direktur PTK-PNF, Dadang, yang merupakan salah satu pejabat dari P2PNFI Regional I, mewakili Kepala P2PNFI, memberikan penjelasan bila memang akan ada perubahan dari Menkowasbangpan 25/1999 perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan model dari kegiatan pengkajian yang dilakukan oleh Pamong Belajar. Bahkan menurutnya pada dasarnya perubahan yang sedang diusulkan itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Pamong Belajar yang ada saat ini, hanya tinggal untuk segera, kembali, dibuatkan modelnya dengan lebih baik lagi.
Lain lagi dengan utusan dari DPD FPBI Sulsel yang menuntut keadilan perhatian Pemerintah kepada Pamong Belajar dibandingkan dengan Guru dan Dosen, bahkan mengambil contoh akibat dari janji UU Guru dan Dosen banyak Pamong Belajar yang pindah kembali ke Guru dengan harapan mendapatkan apa yang dijanjikan pada UU Guru dan Dosen. Kemudian meminta juga agar Pusat dapat melakukan pemantauan-pemantauan terhadap Pamong Belajar yang ada saat ini, karena akibat otonomi daerah ini banyak terjadi mutasi-mutasi yang tidak bisa diprediksi.
Menanggapi hal tersebut Erman mengharapkan agar kepada teman-teman Pamong Belajar untuk ikut memperjuangkan payung hukum bagi PTK-PNF, termasuk Pamong Belajar, sehingga hal-hal tersebut tidak terjadi lagi. Kemudian agar juga diperhatikan peraturan-peraturan yang memungkinkan hal ini dapat terjadi.
Kemudian untuk menanggapi kesulitan-kesulitan dari Pamong Belajar akibat Otonomi Daerah ini yang seringkali melaporkan telah terjadi pengangkatan PB secara kebabalasan, sehingga banyak yang terjadi sekarang ini banyak masuk PB yang sudah masuk pensiun. Mohon kiranya agar Pusat memberikan rambu-rambu kepada Daerah untuk mutasi yang terjadi pada Pamong Belajar, hal Ini amat berkaitan dengan kinerja.
Masukan-masukan maupun keluhan lain dari Pamong Belajar adalah mereka merasakan bahwa Pemerintah di Daerah dirasakan masih menganggap sebelah mata kepada Pendidikan NonFormal, Pamong Belajar khususnya. Seperti ketika beramai-ramai ada pengangkatan Guru, sebanyak 2000 orang di Kalimantan Selatan, tidak diikuti dengan pengangkatan PTK-PNF yang lebih banyak sasarannya.
Erman berjanji akan melakukan hal apapun yang perlu sesuai dengan kewenangannya untuk memperjuangkan nasib dari PTK-PNF pada umumnya, Pamong Belajar khususnya. Ia juga berharap agar FPBI dapat memberikan masukan-masukan dalam perubahan-perubahan pada Kepmenkowasbangpan 25/1999 sebelum nantinya disahkan. Dengan payung hukum inilah dapat diperjuangkan apa yang selama ini menjadi keluhan dari Pamong Belajar di seluruh Indonesia.
Dalam kesempatan itu ia memberikan penghargaan kepada FPBI yang telah membuat buku dengan judul Kaukus dan Pemberdayaan Forum Pamong Belajar Indonesia, dengan adanya buku-buku ini diharapkan FPBI dapat selalu eksis, selalu bisa menyatukan visi, memperlihatkan pentingnya organisasi ini dan selalu menjadi yang terdepan dalam pengembangan pendidikan nonformal serta memberikan bantuan kepada Pemerintah.
(Kosasih)

SEMINAR ILMIAH PAMONG BELAJAR

Sumber P2-PNFI Regional II Semarang

Bertempat di P2-PNFI Regional II Semarang, Selasa 13 Januari 2008 diselenggarakan seminar ilmiah bagi pamong belajar. seminar ilmiah ini diselenggarakan untuk meningkatkan profesionalitas pamong belajar dalam melaksanakan tugasnya. seminar ini menampilkan 3 pembicara inti yaitu Kepala P2-PNFI Regional II Semarang, Ketua Umum Forum Pamong Belajar Indonesia (FPBI) Pusat serta ketua jurusan PLS FIP Universitas Negeri Semarang. Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah yang menjadi keynote speaker menyatakan bahwa peranan PNF dalam pendidikan di Indonesia sangat penting, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang belum terlayani pendidikan formal masih banyak. Dr. Ade Kusmiadi yang menjadi pembicara I mengungkapkan bahwa profesionalitas pamong belajar ditentukan oleh 4 kompetensi yaitu kompetensi Akademik, Sosial, Teknis dan personal skill. Ada kecenderungan bahwa tugas pamong belajar yang sekarang terjadi adalah pamong sapu jagat yaitu pekerjaan pamong meliputi semua pekerjaan yang ada di Sanggar Kegiatan Belajar meliput tugas fungsional dan administratif demikia ungkap Kepala Jurusan Unnes. ke depan pamong belajar harus profesional melaksanakan tupoksinya sesuai dengan tupoksi yang ditetapkan oleh Menkowasbangpan. (jml)

Rabu, 15 April 2009

Perluasan Akses

Perluasan Akses Pendidikan Dasar Lampaui Target
Depok, Senin (23 Februari 2009) -- Perluasan akses pendidikan dasar telah melampaui target yang ditetapkan pemerintah. Angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang SMP/MTs/SMPLB/ Paket B pada 2008 mencapai 96,18 persen melampaui target nasional 95 persen.

Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan (RNP) 2009 di Pusdiklat Pegawai Depdiknas, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Senin (23/2/2009). Mendiknas mengatakan, secara nasional program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun sudah tuntas pada 2008. Meskipun demikian, kata Mendiknas, masih terdapat provinsi atau kabupaten dan kota yang belum mencapai target. "Mereka harus mengejarnya. Target tahun 2009 adalah untuk mencapai 98 persen," katanya.

RNP yang berlangsung mulai 23 - 25 Februari 2009 ini dihadiri oleh pimpinan DPD RI, pimpinan Komisi X DPR RI, BPK RI, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Gubernur Sulawesi Selatan, Wakil Gubernur Papua Barat, Ketua BSNP, Ketua BAN-PT, Ketua BAN-SM, Ketua BAN PNF, para rektor universitas negeri, kepala dinas pendidikan provinsi/kabupaten/ kota, Kepala LPMP, Ketua Umum dan Sekjen PB PGRI, dan para pejabat eselon I dan II Depdiknas.

Mendiknas menjelaskan, untuk APK PAUD berawal dari kondisi APK nasional 39,09 persen pada 2004 meningkat menjadi 50,62 persen pada 2008. Pada akhir 2009 ditargetkan mencapai 53,90 persen. Sementara, lanjut Mendiknas, pada jenjang SD/MI/SDLB/Paket A angka partisipasi murni (APM) tahun 2004 94,12 persen naik menjadi 95,14 persen pada 2008. " Target nasional 2009 95 persen sudah tercapai," ujar Mendiknas.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, APK SMA/SMK/MA/SMALB/ Paket C tahun 2008 sudah mencapai 64,28 persen dan target 2009 untuk mencapai 68,20 persen. Kemudian, kata Mendiknas, untuk perguruan tinggi target tahun 2009 adalah 18 persen dan pada tahun 2008 sudah mencapai 17,75 persen. "Untuk melampaui target tahun 2009 nampaknya tidak akan terlalu sulit," katanya.

Mendiknas menyebutkan, persentase buta aksara pada 2008 telah mencapai 5,97 persen dan target pada 2009 sebanyak lima persen. "Jadi tinggal menurunkan 0,97 persen.Kalau dikerjakan betul dengan segala cara akhirnya buta aksara itu bisa kita tekan. Target kita hanya lima persen. Pada periode lima tahun yang akan datang kita akan ciptakan target baru," katanya.***

Sumber: Pers Depdiknas

PENDIDIKAN KESETARAAN: MAU KE MANA?

sumber :bpplsp-reg4.go.id
Ditulis oleh Kasmuji ‘Jojo’ Raharja

Sebuah Refleksi Pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan di Lapangan.

Rasional

Merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 1 bahwa pendidikan nonformal, termasuk pendidikan kesetaraan berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka life long- education. Lebih jauh disebutkan bahwa lulusan pendidikan nonformal diakui setara dengan pendidikan formal.

Selanjutnya menurut acuan pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah tahun 2006, peserta pendidikan kesetaraan adalah penduduk dengan kaakteristik sebagai berikut, (1) penduduk yang memiliki potensi khusus, (2) penduduk yang terkendala waktu untuk sekolah, seperti pengrajin, buruh, dan pekerja lainnya, (3) penduduk terkendala geografi, mereka adalah etnik minoritas, suku terasing dan terisolir, (4) penduduk yang terkendala ekonomi seperti penduduk miskin dari kalangan nelayan, petani, penduduk kumuh dan miskin perkotaan, pekerja rumah tangga, dan tenaga kerja wanita, (5) penduduk terkendala faktor keyakinan seperti warga pondok pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah), dan (6) penduduk yang bermasalah sosial/hukum seperti anak jalanan, anak lapas, dan korban napza. (http://www.sekolahmaya.net/data/Acuan%20Pelaksanaan.pdf). Dari semua karakteristik tersebut sasaran difokuskan pada penduduk dengan rentang usia tiga tahun di atas usia sekolah yang setara sampai pada usia empat puluh empat tahun.

Dengan terbitnya undang-undang tersebut sebetulnya sudah mempertegas posisi pendidikan kesetaraan terutama pada pasal yang menyebutkan kesetaraan dengan pendidikan formal dalam hal lulusannya. Selama ini masyarakat masih menganggap bahwa program paket A, B, dan C bukanlah merupakan sebuah ‘sekolah’, walau mereka juga tidak tahu harus menyebut apa. Dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat baik yang tersirat maupun tersurat, barangkali memang tidak salah jika fungsi pendidikan nonformal - dalam hal ini program paket A, B, dan C - tidak lebih sebagai ban serep atau sebagai sekolah ongko loro.

Kendala yang dihadapi

Melaksanakan program kesetaraan di masyarakat merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Sangat jarang didengar keberhasilan penyelenggaraan program ini secara sempurna. Kalaupun penyelengagara program mampu mengantar peserta didik program ini sampai lulus UAN, kita patut bertanya pada diri kita sendiri: Apakah program yang kita laksanakan telah benar-benar mengantar mereka pada ‘jalan yang benar’?

Belum suksesnya program pendidikan kesetaraan yang telah dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga pemerintah (baca SKB) bukan karena tanpa sebab. Sesuai dengan karakteristik sasaran program kesetaraan, secara eksplisit memang telah disebutkan bahwa peserta program pendidikan nonformal kesetaraan adalah mereka yang terkendala/bermasalah dalam segala hal (cf. acuan pelaksanaan) sehingga penanganan program ini memang harus benar-benar extra. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan kesetaraan menjadi termarjinalkan dan menjadi prioritas yang ke sekian. Hal ini menjadi masuk akal karena apabila dilihat dari jumlah mereka yang relatif sedikit dibanding mereka yang menempuh jalur formal.

Keberadaan warga belajar

Seperti kita ketahui sampai saat ini masih ada sebagian dari masyarakat usia sekolah yang belum bisa menikmati pendidikan atau lebih tepatnya tersentuh oleh program pendidikan. Kita ambil contoh program Paket A. Ada beberapa penyelenggara pendidikan pemerintah yang ‘menolak’ menyelenggarakan program pendidikan ini dengan alasan-alasan klasik – warga belajar terpencar di beberapa desa yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan secara berkelompok. Tentu saja hal ini sangat ironis. Namun kita tidak bisa dengan serta merta menjustifikasi bahwa mereka tidak bertanggungjawab. Perlu ada kajian yang lebih mendalam mengapa mereka menolak melaksanakan program tersebut.

Tidak demikian halnya dengan program Paket B. Kalau kita lihat dari output memang sudah banyak warga masyarakat yang ‘lulus’ melalui program ini. Tetapi kalau kita tinjau lebih dalam dari sekian jumlah kelompok yang diselenggarakan, beberapa di antara mereka masih berasaskan ‘yang penting jalan’. Artinya, saat ujian semester dan ujian akhir warga belajar tetap mengikuti walaupun pada aktivitas sehari-hari masih sangat minim tingkat absensi kehadirannya. Hal ini bukan semata-mata penyelenggara yang salah, tetapi di mata warga belajar program pendidikan kesetaraan (baca=sekolah) memang tidak menarik. Mereka bercermin pada masyarakat di sekitarnya bahwa banyak dari kalangan mereka yang sekolah toh masih juga menganggur di rumah. Kalau dicermati memang ada masalah motivasi pada diri warga masyarakat untuk secara suka rela mengikuti program ini karena masyarakat kita masih berpikir pragmatis, untuk apa ikut program kesetaraan jika tidak ada hasil yang segera dapat dinikmati.

Lain lagi dengan program Paket C. Selama program ini diluncurkan ‘nampaknya’ masyarakat antusias menyambutnya. Hal ini bisa dilihat dari jumlah peserta ujian Paket C. Jika kita hanya melihat pada sisi jumlah lulusan dari program ini maka kita terjebak pada keberhasilan yang semu. Berapa banyak dari peserta ujian Paket C yang sebenarnya telah lulus pendidikan formal sebelumnya dari tingkat yang sama dan berapa banyak yang mengikuti pendidikan secara reguler? Sampai saat ini sebagian peserta banyak peserta program Paket C yang hanya menginginkan ijasahnya karena pada dasarnya mereka sudah mengantongi ijasah setingkat SLTA. Peserta program Paket C mengikuti program ini karena kepentingan-kepentingan strategis. Atau bahkan yang lebih menyedihkan lagi, hanya menghendaki cara-cara instan untuk memperoleh ijasah setara SMA: sungguh terlalu! Banyak bukti yang memperkuat hal tersebut.

Program Pembelajaran

Tujuan pendidikan luar sekolah yang merupakan perwujudan dari visi dan misi Pendidikan Luar Sekolah yang dirilis oleh Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal (2007) menyebutkan bahwa:
Masyarakat memperoleh layanan pendidikan kesetaraan yang bermutu, relevan, dan berkelanjutan untuk menunjang penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memperluas akses pendidikan menengah dengan lebih menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional (www.pls.depdiknas.go.id © 2007)

Pada pernyataan tujuan di atas terdapat kata-kata ‘... dengan lebih menekankan pada keterampilan fungsional...’. Tujuan ini nampaknya belum didukung dengan perencanaan pembiayaan yang semestinya. Kalau dilihat dari DIPA untuk program kesetaraan tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, anggaran dana untuk keterampilan masih kurang dari sepuluh persen dari total biaya penyelenggaraan baik untuk program Paket A, B, maupun C. Boleh dikatakan bahwa pemerintah sendiri tidak memihak pada program dan tujuan yang telah dicanangkan sendiri.

Selain itu anggaran sudah disusun secara top down dan begitu rigid sehingga pelaksanaan di lapangan menjadi terbatas. Ini memang bisa dimaklumi untuk menghindari penyimpangan tetapi hal ini juga mematikan inovasi-inovasi yang mungkin bisa dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kesetaraan.

Alternatif

Tindakan ekonomi menyebutkan bahwa kita harus menekan biaya yang serendah rendahnya untuk memeperoleh hasil yang setinggi-tingginya. Di pihak lain kata-kata bijak orang Jawa megatakan jer basuki mowo beya. Artinya kita harus mempertimbangkan antara biaya dan tujuan, mana yang akan kita dahulukan – penghematan biaya atau penuntasan wajib belajar. Berdasarkan amanat undang-undang dasar maka tidak ada alasan untuk tidak meningkatkan anggaran pendidikan. Dengan demikian maka inovasi-inovasi penyelenggaraan program bisa terlaksana untuk menuntaskan program wajib belajar.

Untuk mengatasi masalah motivasi, reward and punishment perlu diterapkan. Untuk menuntaskan program wajib belajar jika perlu bagi masyarakat usia sekolah yang belum menuntaskan pendidikan dasar tidak diterbitkan kartu identitasnya (KTP). Dengan hukuman seperti itu ke depan yang bersangkutan tidak akan bisa menggunakan hak-haknya sebagai warga negara tanpa kartu identitas yang sah. Tentu saja hal ini harus dipertimbangkan lebih jauh dan ada koordinasi dengan instansi terkait.

Selain itu, kita perlu kembali kepada kithoh pendidikan luar sekolah yang lebih memprioritaskan pada keterampilan fungsional selain pengetahuan. Memang kita perlu menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, namun pada dasarnya yang diperlukan masyarakat sekarang ini adalah keterampilan untuk memeperoleh nafkah. Dengan begitu maka program-pogram pendidikan kesetaraan menjadi menarik untuk diikuti oleh warga masyarakat yang sudah mulai kehilangan motivasi untuk mengikutinya.

Alternatif lain adalah dengan menjadikan pendidikan kesetaraan lebih fokus pada bidang tertentu – pengetahuan atau keterampilan. Dengan melakukan identifikasi kebutuhan belajar secara lebih cermat dan detil kita dapat mengarahkan warga belajar pada minat dan kemampuan yang sesuai dengan keinginan mereka. Warga belajar dengan intelektual yang tinggi diarahkan untuk menguasai pengetahuan untuk dapat melajutkan pada jenjang yang lebih tinggi, sedangkan warga belajar dengan intelektual yang biasa lebih diarahkan pada penguasaan keterampilan fungsional.

Penutup
Penuntasan program wajib belajar melalui pendidikan kesetaraan menjadi sangat urgen untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Bahkan pemintah sendiri melakukan program percepatan penuntasan wajib belajar sesuai dengan jangka waktu yang telah dicanangkan. Namun demikian kegiatan ini harus dibarengi dengan evaluasi dan inovasi-inovasi sehingga program kesetaraan sebagai break through program wajib belajar menjadi suatu hal yang menarik untuk diikuti oleh mereka yang seharusnya terlibat. Jika tidak maka kita akan terjebak pada rutinitas yang selama ini kita lakukan dan tetap stagnan tanpa ada inovasi dan perkembangan yang berarti. Munginkah terjadi? Jawabannya ada dalam hati kita!


*penulis adalah Pamong Belajar SKB Gudo, Kab. Jombang

Banyak negara tertarik pendidikan nonformal Indonesia

sumber diknas.go.id
07-04-2009 10:19:21 |
JAKARTA - Banyak negara yang tertarik dan menyatakan ingin studi banding di Indonesia mengenai...

pendidikan nonformal dan informal. Salah satunya pemerintah Filipina, yang pernah mengirimkan para tutor dan pamong belajarnya di Indonesia . Ketertarikan ini memang peran Indonesia di Unesco ketika pertemuan di Bandung mengenai seminar tentang CLC ( Community Learning Center ) atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.

"Indonesia adalah salah satu dari empat model Pendidikan Kesetaraan kurang lebihnya bukan terbaik ya terbaik di dunia. Jadi empat terbaiknya yaitu Indonesia, Thailand, Filipina dan India," jelas Direktur Pendidikan Masyarakat Ella Yulaelawati kepada Harian Terbit, kemarin.

Karena itu, katanya, keempat negara ini didorong saling memperkuat mutu pendidikan kesetaraannya dan pendidikan nonformal pada umumnya untuk menjadi contoh negara-negara lainnya.

Negara-negara yang lain mulai tertarik dan mulai menerapkan dengan sangat signifikan itu negara-negara di Mekong (Vietnam, Laos, Kamboja, Mongolia), bahkan sekarang itu sudah mulai ke Mesir, karena mereka pernah ke sini ( Indonesia ) atau Negara-negara Arab juga tertarik.

Menurut Ella, di Indonesia yang sangat menariknya adalah fleksibilitas dari Mall People Learning Entrys namanya. Dimana setiap siswa itu boleh gabung dan keluar kapan saja dimana mereka mau. Misalnya, kalau lulus Paket A kalau dia mampu bisa masuk ke SMP, atau dari SMP gagal ujian bisa mengikuti Paket B, nah hal ini yang belum ada di negara lain.

"Jadi, Mall People Entrys Sistem, walaupun mereka sama menggunakan multy exit dan multy entri program, tetapi kefleksibelan untuk sama-sama memperoleh kredit yang diakui setara dan juga mutunya sudah di setarakan dengan baik melalui badan standar nasional pendidikan ( BSNP), itu satu-satunya di Indonesia," tegas dia.

Pendidikan nonformal di Indonesia sekarang sudah mulai naik gengsinya, terutama dengannya home schooling yang membuat mereka makin tertarik. Kebetulan dari kita mempunyai standar yang sama. Jadi, sebetulnya kelebihan Indonesia dibanding dengan negara lain itu selalu adalah dari perangkat hukumnya legal freework kita punya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.

Dia mengemukakan, dalam undang-undang itu tidak dibedakan. Di UU Sisdiknas disebutkan ada 3 (tiga) meliputi jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. (mya) -Harian Terbit-

Revisi PP 30/1980

sumber menpan.go.id
Tak Jatuhkan Sanksi, Pejabat Dikenai Hukuman (Revisi PP 30/1980)
Senin, 30 Maret 2009
Penegakan disiplin PNS terus digalakkan, termasuk melalui peraturan perundang-undangan dengan menerapkan sanksi hukum secara tegas bagi setiap pelanggaran. Bahkan, hukuman juga bisa dikenakan terhadap pejabat yang seharusnya memberikan hukuman, tetapi tidak melaksanakannya.
Demikian salah satu isi RPP pengganti PP No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, seperti dikemukakan Deputi Kementerian Negara PAN Bidang SDM Aparatur, Ramli E. Naibaho, di Jakarta, Senin (30/3).
Revisi PP tersebut dilakukan sejalan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi, diarahkan untuk pembinaan disiplin PNS. Hal ini sebagai respon atas penilaian masyarakat, bahwa PNS pada umumnya kurang disiplin dan kinerjanya rendah. ”Untuk itu perlu dibuat ukuran-ukuran, sehingga benar tidaknya penilaian itu bisa diuji secara ilmiah. Melalui revisi PP 30/80, diharapkan kedisiplinan dan kinerja PNS meningkat, sekaligus bisa dijadikan tolok ukur dalam penilaian kinerja PNS,” ujarnya.
Revisi PP yang dilakukan Kementerian Negara PAN dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ini, diharapkan bisa diselesaikan pada bulan April atau Mei 2009 mendatang, dan selanjutnya diserahkan ke Presiden untuk ditandatangani.
Kebijakan tersebut harus mampu memberikan manfaat yang besar, misalnya konsekuensi dan dampak apa yang bisa dihasilkan setelah PP itu diberlakukan. Selain itu, setiap kebijakan yang dibuat jangan sampai menimbulkan masalah baru, dan bisa dioperasionalkan di lapangan.
Dalam RPP ini, kehadiran PNS di kantor merupakan salah satu tolok ukur utama dalam penilaian kedisiplinan. Keterlambatan tiba tidak bisa ditolerir. Misalnya, pegawai yang selalu datang terlambat 30 menit, maka dalam 15 hari dia sudah terlambat 7,5 jam. ”Angka itu diakumulasikan, sehingga pegawai tersebut sudah dianggap tidak masuk kerja sehari,” ujar Ramli lebih lanjut.
Akumulasi juga berlaku dalam hal tidak masuk kerja tanpa keterangan (TK). Saat ini, perhitungan cuti sebanyak 12 hari dalam setahun, diberikan toleransi ijin 4 hari untuk keperluan-keperluan keluarga, misalnya mengambil raport anak. Namun toleransi tidak berlaku untuk hari ke lima dan seterusnya. Bila dalam setahun tidak masuk kerja tanpa keterangan (di luar 12 hari cuti dan 4 hari toleransi), dan diakumulasikan jumlahnya menjadi 15 hari, pegawai akan mendapatkan sanksi hukuman. Pada angka 16 hari – 25 hari, hukumannya bertambah berat, dan di atas 25 hari, pegawai tersebut diberhentikan dengan tidak hormat.
Agar di kemudian hari tidak menimbulkan masalah baru, RPP tersebut dimintakan pendapat dari berbagai instansi pemerintah, guna mendapat masukan lebih lanjut. Termasuk diantaranya masalah angka 4 hari toleransi, yang masih diperdebatkan. Pasalnya, bangsa Indonesia dengan beraneka suku bangsa memiliki tradisi dan budaya beragam. Salah satu contohnya masyarakat Bali, yang memiliki banyak hari raya, seperti Galungan, Nyepi dan sebagainya. Konsekuensinya, PNS dari Bali tentu sebentar-sebentar minta ijin pada setiap hari raya.(HUMAS MENPAN)

Minggu, 12 April 2009

Semua Guru Harus Bersertifikasi

Mendiknas: Semua Guru Harus Bersertifikasi
02-04-2009 09:42:43 | Dibaca : 1045
Solo, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan, dalam sertifikasi guru ditargetkan selesai..

tahun 2015 dan tahun 2014 semua guru harus lulusan S1.
Persyaratan tersebut untuk meningkatkan mutu pendidikan, kata Bambang Sudibyo dalam dialog publik pendidikan di Balaitawangarum Kompleks perkantoran Balai Kota Surakarta, Rabu (1/4).
Ia mengatakan, jumlah guru sekarang ini mencapai 2,7 juta, sementara yang telah selesai S1 sebanyak 41 persen lebih dan yang melakukan sertifikasi tercatat 352 ribu.
Tunjangan profesi guru yang harus dibayar tahun ini sebesar Rp9,2 triliun. Sementara itu mengenai kuota sertifikasi guru dalam tahun 2009 sebanyak 310 ribu.
Mendiknas mengatakan, akhir-akhir ini ada keresahan di kalangan guru, karena akan dihentikan pembayaran tunjangan profesi Menteri Keuangan disebabkan tidak ada peraturan Presiden yang mengatur itu.
Para guru tidak usah khawatir mengenai itu, aturan tersebut sudah dibuat oleh Depdiknas dan diharapkan dalam bulan Juli 2009 sudah bisa selesai, katanya.
Menyinggung guru wiyata bhakti atau guru tidak tetap (GTT), Mendiknas mengatakan untuk pengangkatan guru ini menjadi pegawai negeri sipil (PNS) harus lewat tes sesuai formasi yang tersedia.
Guru Wiyata Bhakti atau GTT, di daerah-daerah memang masih diperlukan, untuk mengaturnya akan dikeluarkan mengenai peraturan tersebut termasuk dalam pembayaran gajinya, katanya.
Mengenai sekolah sembilan tahun wajib belajar gratis, dia mengatakan jangan diartikan terus semuanya tidak membayar karena telah ada dana biaya operasional sekolah (BOS).
Sementara ini ada salah persepsi di masyarakat program sekolah gratis apa-apa dibayar BOS. Jadi gratis itu ada batasnya, tidak semua terus gratis, ujarnya.
Untuk pelaksanaan sekolah gratis itu dari Pemerintah Pusat membantu dana lewat BOS, kalau ini tidak cukup bisa dibantu dari anggaran APBD Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.
Pelaksanaan sekolah gratis ini tidak bisa terus disamakan dari daerah satu dengan daerah lainnya dan dalam era otonomi daerah ini sesuai kekuatan keuangan daerah masing-masing, katanya.
Mendiknas mengatakan secara prinsif pelaksanaahn sekolah gratis di Jawa Tengah tidak ada masalah. Saya telah cek ke provinsi ini tidak ada persoalan hanya saja kekuatan daerah berbeda-beda.
Wakil Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo mengatakan, ketika menjabat pertama sebagai Wakil Wali Kota Surakarta anggaran pendidikan Rp9 miliar dan tahun 2009 naik menjadi Rp40 miliar. (dik/ant) - Harian Umum Pelita- sumber http://diknas.go.id

Kota malang

Kota malang



Kota malang seperti kota-kota lain di Indonesia pada umumnya baru tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda. Fasilitas umum di rencanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif itu masih berbekas hingga sekarang. Misalnya Ijen Boulevard kawasan sekitarnya. hanya dinikmati oleh keluarga- keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumiharus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang bagai monumen yang menyimpan misteri dan seringkali mengundang keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim disana untuk bernostalgia.

Pada Tahun 1879, di Kota Malang mulai beroperasi kereta api dan sejak itu Kota Malang berkembang dengan pesatnya. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.

Sejalan perkembangan tersebut di atas, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan masyarakat akan perumahan meningkat di luar kemampuan pemerintah, sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah perdagangan, di sepanjang jalur hijau, sekitar sungai, rel kereta api dan lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan. Selang beberapa lama kemudian daerah itu menjadi perkampungan, dan degradasi kualitas lingkungan hidup mulai terjadi dengan segala dampak bawaannya. Gejala-gejala itu cenderung terus meningkat, dan sulit dibayangkan apa yang terjadi seandainya masalah itu diabaikan.

Sekilas Sejarah Pemerintahan
1. Malang merupakan sebuah Kerajaan yang berpusat di wilayah Dinoyo, dengan rajanya Gajayana.
2. Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota
3. Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
4. Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
5. Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
6. 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
7. 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
8. 21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
9. 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
10. 2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
11. 1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.
GELAR YANG DISANDANG KOTA MALANG
1. Paris of Java

Karena kondisi alamnya yang indah, iklimnya yang sejuk dan kotanya yang bersih, bagaikan kota “PARIS” nya Jawa Timur.
2. Kota Pesiar

Kondisi alam yang elok menawan, bersih, sejuk, tenang dan fasilitas wisata yang memadai merupakan ciri-ciri sebuah kota tempat berlibur
3. Kota Peristirahatan

Suasana Kota yang damai sangat sesuai untuk beristirahan, terutama bagi orang dari luar kota Malang, baik sebagai turis maupun dalam rangka mengunjungi keluarga/famili.
4. Kota Pendidikan

Situasi kota yang tenang, penduduknya ramah, harga makanan yang relatif murah dan fasilitas pendidikan yang memadai sangat cocok untuk belajar/menempuh pendidikan.
5. Kota Militer

Terpilih sebagai kota Kesatrian. Di Kota Malang ini didirikan tempat pelatihan militer, asrama dan mess perwira disekitar lapangan Rampal., dan pada jaman Jepang dibangun lapangan terbang “Sundeng” di kawasan Perumnas sekarang.
6 Kota Sejarah

Sebagai kota yang menyimpan misteri embrio tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Singosari, Kediri, Mojopahit, Demak dan Mataram. Di Kota Malang juga terukir awal kemerdekaan Republik bahkan Kota Malang tercatat masuk nominasi akan dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia.
7. Kota Bunga

Cita-cita yang merebak dihati setiap warga kota senantiasa menyemarakkan sudut kota dan tiap jengkal tanah warga dengan warna warni bunga
PENDUDUK DAN SOSIOLOGI

Jumlah
Kota Malang memiliki luas 110.06 Km. persegi, Kota dengan jumlah penduduk sampai



akhir Juni 2005 sebesar 782.110 jiwa. Kepadatan penduduk kurang lebih 7106 jiwa per kilometer persegi. Tersebar di 5 Kecamatan (Klojen = 125.824 jiwa, Blimbing = 167.301 jiwa, Kedungkandang = 152.285 jiwa, Sukun = 174.184 jiwa, dan Lowokwaru = 162.516 jiwa), 57 Kelurahan, 10 Desa, 505 RW dan 3.649 RT
Komposisi
Etnik Masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (AREMA). Komposisi penduduk asli berasal dari berbagai etnik (terutama suku Jawa, Madura, sebagian kecil keturunan Arab dan Cina)
Agama
Masyarakat Malang sebagian besar adalah pemeluk Islam kemudian Kristen, Katolik dan sebagian kecil Hindu dan Budha. Umat beragama di Kota Malang terkenal rukun dan saling bekerja sama dalam memajukan Kotanya. Bangunan tempat ibadah banyak yang telah berdiri semenjak jaman kolonial antara lain Masjid Jami (Masjid Agung), Gereja (Alun2, Kayutangan dan Ijen) serta Klenteng di Kota Lama. Malang juga menjadi pusat pendidikan keagamaan dengan banyaknya Pesantren dan Seminari Alkitab yang sudah terkenal di seluruh Nusantara
Seni Budaya
Kekayaan etnik dan budaya yang dimiliki Kota Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisonal yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah Tari Topeng, namun kini semakin terkikis oleh kesenian modern. Gaya kesenian ini adalah wujud pertemuan gaya kesenian Jawa Tengahan (Solo, Yogya), Jawa Timur-Selatan (Ponorogo, Tulungagung, Blitar) dan gaya kesenian Blambangan (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi). Untuk mengetahui lebih jauh tentang daerah2 lain disekitar Kota malang silahkan kunjungi : Daerah Sekitar Kota Malang
Bahasa
Bahasa Jawa dialek Jawa Timuran dan bahasa Madura adalah bahasa sehari-hari masyarakat Malang. Dikalangan generasi muda berlaku dialek khas Malang yang disebut 'boso walikan' yaitu cara pengucapan kata secara terbalik, contohnya : seperti Malang menjadi Ngalam. Gaya bahasa di Malang terkenal kaku tanpa unggah-ungguh sebagaimana bahasa Jawa kasar umumnya. Hal menunjukkan sikap masyarakatnya yang tegas, lugas dan tidak mengenal basa-basi
Pendatang
Kebanyakan pendatang adalah pedagang, pekerja dan pelajar / mahasiswa yang tidak menetap dan dalam kurun waktu tertentu kembali ke daerah asalnya. Sebagian besar berasal dari wilayah disekitar Kota Malang untuk golongan pedagang dan pekerja. Sedang untuk golongan pelajar / mahasiswa banyak yang berasal dari luar daerah (terutama wilayah Indonesia Timur) seperti Bali, Nusa Tenggara, Timor Timur, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
Dalam lambang Kota Malang tertulis sesanti berbunyi MALANG KUCECWARA yang berarti "Tuhan menghancurkan yang bathil dan menegakkan yang baik". Sesanti itu disyahkan menjadi semboyan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang pada tanggal 1 April 1914.

Semboyan tersebut erat kaitannya dengan asal mula Kota Malang yang pada masa Ken Arok lebih kurang 8 abad yang lampau menjadi nama tempat di sekotar candi bernama Malang. Letak candi itu masih menjadi tanda tanya dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Daerah Malang dan sekitarnya termasuk Singosari merupakan pusat kegiatan politik dan budaya sejak tahun 760 s/d tahun 1414 berdasarkan tulisan batu di Dinoyo. Kegiatan selama masa itu di ikuti oleh kegiatan budaya tidak dapat di gambarkan sebagai perkembangan satu dinasti saja, melainkan merupakan rangkaian kegiatan politik dan budaya dari beberapa turunan.

Demikian diungkapkan oleh almarhum Prof. Drs. S. Wojowasito dalam tulisannya tentang sejarah dan asal mula Kota Malang.

Lebih jauh di ungkapkan dari beberapa keturunan itu,ada yang jelas terpisah dalam arti tidak ada hubungan antara satu keturunan dengan keturunan lainnya, seperti keturunan Dewasimba, Gajayana di Dinoyo dengan keturunan Balitung. Daksa, Tulodog dan Hawa, akhirnya Sindhok. Keturunan berlangsung kepada Dharmawangsa, Airlangga hingga yang terakhir yaitu Kertajaya (1215 - 1222).

Kemudian timbulnya dinasti Ken Arok merupakan estafet pertama dari raja-raja Majapahit sampai raja terakhir Bhre Tumapel (1447-1451). Pada waktu Ken Arok menampakkan kegiatannya, Tumapel hanya merupakan semacam kabupaten dari daerah Jenggala yang pada waktu itu praktis berada di bawah kekuasaan Kertajaya dari Kediri. Batara Malangkucecwara, disebut di dalam piagam tahun 908 dekat Singosari. Piagam tahun 907 itu menerangkan bahwa orang-orang yang mendapat piagam itu adalah pemuja-pemuja batara dari Malangkucecwara, Putecwara Kutusan, Cilebhedecwara dan Tulecwara. Penyebutan nama-nama seperti Batara dari Malangkucecwara, putecwara dansebagainya membuktikan bahwa nama-nama itu adalah nama raja-raja yang pernah memerintah dan pada saat di makamkan di dalam candi lalu disebut Batara. Dengan disebutkannya piagamDinoyo, sekarang adalah Kelurahan Dinoyo, maka masuk akal jika candi malangkucecwara itu ada dekat Kota Malang sekarang.
Dalam salah satu Sidang Paripurna Gotong Royong Kotapraja Malang pada tahun 1962 ditetapkan Kota Malang sebagai :

1. Kota Pelajar / Kota Pendidikan
2. Kota Industri
3. Kota Pariwisata

Ketiga pokok tersebut menjadi cinta-cita masyarakat Kota Malang yang harus di bina. Oleh karena itu kemudian di sebut
TRIBINA CITA KOTA MALANG


Kota Malang sebagai Kota Pendidikan,

merupakan potensi daerah yang memiliki nilai jual dan daya saing baik di tingkat regional maupun nasional. Dalam era globalisasi dunia pendidikan menghadapi berbagai tantangan dalam menghadapi perubahan yaitu dengan adanya tuntutan masyarakat memperoleh fasilitas pendidikan yang baik dan berkualitas. Upaya yang dilaksanakan adalah dengan menciptakan visi dan misi pendidikan Kota Malang, menjalin mitra dengan lembaga perguruan tinggi baik dalam bidang pengkajian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam pengembangan kualitas Kota Malang pada umumnya.
Kota Malang dipenuhi oleh berbagai sekolah, kampus perguruan tinggi, lembaga pendidikan non formal atau tempat-tempat kursus, serta sejumlah pondok pesantren. Selain itu juga dilengkapi dengan fasilitas penunjang yang cukup memadai seperti tempat pemondokan, toko buku, super market, plaza, pusat pelayananan kesehatan masyarakat serta fasilitas penunjang lainnya yang tak kalah penting adalah adanya angkutan umum (transpotasi) yang tersedia ke penjuru kota (memiliki 25 jalur), yang menghubungkan 3 (tiga) terminal yang ada di Kota Malang, yaitu terminal Arjosari (arah Surabaya), terminal Gadang (arah Blitar), terminal Landungsari (arah Jombang/Kediri). Krisis ekonomi yang berkepanjangan membawa dampak ekonomi yang sangat berat bagi warga Kota Malang. Hal ini ditandai dengan meningkatnya angka pengangguran dan menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun dengan segala keyakinan dan senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka krisis yang berkepanjangan ini sedikit-demi sedikit dapat teratasi. Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut adalah dengan menciptakan lapangan kerja dan usaha yang seluas-luasnya serta menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dan memiliki daya saing di pasar kerja.

Kota Malang Sebagai Kota Industri

Kota Malang sejak dulu sangat dikenal dengan industri rokok kreteknya. Diversifikasi produk industri kecil dan menengah yang mulai bangkit sejak berlangsungnya krisis ekonomi, masih memerlukan bimbingan dalam hal peningkatan mutu, teknis dan penanam modal untuk mempercepat pemulihan pembangunan ekonomi yang berbasis pada ekonomi kerakyatan, serta untuk perkembangannya di masa mendatang. Sedangkan industri besar yang ada di Kota Malang masih perlu adanya wahana untuk diperkenalkan secara luas, sehingga semakin mendukung produktivitas Kota Malang sebagai Kota Industri.

Kota Malang Sebagai Kota Pariwisata

Dengan potensi alam yang dimiliki oleh Kota Malang, yaitu pemandangan alam yang elok serta hawa yang sejuk, teduh dan asri serta bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda, Kota Malang layak menjadi tujuan wisata bagi wisatawan dalam maupun luar negeri. Berbagai pilihan tempat perbelanjaan, baik yang bersifat tradisional maupun modern yang tersebar di berbagai penjuru kota sangat menunjang Kota Malang sebagai Kota Pariwisata. Perkembangan pusat-pusat perbelanjaan modern ini seiring dengan perkembangan kawasan perumahan yang melaju dengan pesat seakan tidak ada lagi lahan yang tersisa di Kota Malang. Di era otonomi daerah dan era globalisasi saat ini upaya pembangunan di segala bidang yang telah dilaksanakan merupakan sebuah langkah awal peningkatan citra, posisi dan peran Kota Malang dalam percaturan hubungan antar Kota, antar Propinsi, maupun antar Bangsa. Sekaligus merupakan sebuah peluang dan harapan yang bisa memberi manfaat bagi masyarakat Kota Malang sendiri

Pemerintah Kota Malang dalam pelaksanaan pembangunan berpedoman pada PROPEDA dimana dialamnya termuat Visi Kota Malang, yaitu :
"TERWUJUDNYA KOTA MALANG YANG MANDIRI, BERBUDAYA,
SEJAHTERA DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN"


Mandiri, artinya bahwa kedepan Kota Malang diharapkan mampu membiayai sendiri seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan segala sumber daya lokal (SDA, Potensi Daerah SDM yang dimiliki).

Berbudaya, artinya bahwa pelaksanaan otonomi daerah tetap mengedepankan nilai-nilai Ke-Tuhanan, nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat Kota Malang dan mengembangkan pendidikan untuk mengantisipasi perkembangan Kota Malang menuju kota Metropolis.

Sejahtera, artinya bahawa pelaksanaan pembangunan yang di laksanakan di Kota Malang kesemuanya diarahkanm pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota, baik secara materiil maupun spirituil.

Berwawasan Lingkungan, artinya bahwa pelaksanaan pembangunan yang di laksanakan tetap berupaya untuk menjaga kelestarian alam dan kualitas lingkungan serta pemukiman Kota Malang.

MISI

Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Malang tersebut, penjabaran Misi Kota Malang untuk tahun 2004 - 2008 adalah :
1. Mewujudkan Kota Malang sebagai kota pendidikan melalui peningkatan kualitas pendidikan bagi masyarakat miskin perkotaan;
2. Mewujudkan Kota Malang sebagai Kota Sehat melalui peningkatan kualitas kesehatan masyarakat bagi masyarakat kurang mampu dan meningkatkan penghijauan kota;
3. Mewujudkan semangat dan cita-cita reformasi dalam upaya pemulihan ekonomi kota menuju terwujudnya Indonesia baru berlandaskan pada: negara dengan pondasi system kehidupan ekonomi, social, budaya yang dijiwai prinsip-prinsip demokrasi kebangsaan dan keadilan social dalam ikut serta menertibkan persatuan dan kesatuan, serta kerukunan Kota Malang;
4. Mewujudkan tuntutan reformasi dalam tatanan system politik pemerintahan dan tatanan paradigma pembangunan berdasarkan pada: wawasan kebangsaan, demokrasi, persatuan dan kesatuan, otonomi daerah, iman dan takwa, budi pekerti, hak asasi manusia, dan keadilan sosial;
5. Mewujudkan upaya reformasi melalui pembenahan system administrasi publik dan system administrasi kebijakan publik, dengan syarat rasa kebersamaan seluruh masyarakat yang pluralistic, persatuan dan kesatuan, kerjasama dan merupakan gerakan rakyat;
6. Menjadikan tekad mengentaskan kemiskinan menjadi landasan prioritas pembangunan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
7. Mendayagunakan secara optimal potensi penduduk, posisi georafis strategis, dan sumberdaya alam yang memadai untuk memajukan masyarakat kota Malang dan kontribusi maksimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Sumber http://www.pemkot-malang.go.id

Sabtu, 11 April 2009

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

MATERI MOTIVASI UNTUK PENGELOLA KEJAR
TENTANG
STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

A. Pengertian

1. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
2. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
3. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
4. Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
5. Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
6. Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
7. Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik diakhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator
yang merepresentasikan KD pada semester tersebut.
8. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.
9 .Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.

B. Prinsip Penilaian
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
2. objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
3. adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama,suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
4. terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5. terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
6. menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7. sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
8. beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
9. akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.

STANDAR KOMPETENSI TUTOR PENDIDIKAN KESETARAAN”

MATERI MOTIVASI TUTOR PENDIDIKAN KESETARAAN
”STANDAR KOMPETENSI TUTOR PENDIDIKAN KESETARAAN”

Dalam kerangka pedoman ini, penyusunan standar kompetensi tutor pendidikan kesetaraan terutama merujuk pada PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
A. Standar Kompetensi Tutor Pendidikan Kesetaraan
Standar kompetensi tutor pendidikan kesetaraan meliputi empat komponen yaitu: (1) kompetensi pedagogi dan/atau andragogi, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional. Untuk lebih jelasnya masing-masing kompetensi dijabarkan sebagai berikut.
1. Kompetensi Pedagogik dan Andragogi
Kompetensi pedagogik dan andragogi merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman terhadap peserta didik/warga belajar dan pengelolaan pembelajaran yang partisipatif dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Dalam kerangka penyelenggaraan PNF, disamping menguasai kompetensi pedagogik seorang tutor pendidikan kesetaraan harus mampu menerapkan kaidah-kaidah pedagogi dan andragogi dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Ranah kompetensi pedagogik dan andragogi dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
(1) Memahami peserta didik/warga belajar. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memahami peserta didik/warga belajar dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik/warga belajar.
(2) Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembe lajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial yaitu menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik/ warga belajar, menerapkan prinsip-prinsip pedagogi dan/atau andragogi, kompetensi yang ingin dicapai dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
(3) Melaksanakan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif, serta menerapkan prinsip-prinsip pedagogi dan/atau andragogi.
(4) Merancang dan melaksanakan evaluasi pem belajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinam bungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran PNF secara umum.
(5) Mengembangkan peserta didik/warga belajar untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik/warga belajar untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik/warga belajar untuk mengembangkan berbagai potensi non akademik.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik/warga belajar, dan berakhlak mulia. Secara rinci setiap elemen kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut.
(1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai pendidik; dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
(2) Memiliki kepribadian yang dewasa. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai Pendidikdan memiliki etos kerja sebagai pendidik.
(3) Memiliki kepribadian yang arif. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik/warga belajar, satuan PNF, dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
(4) Memiliki kepribadian yang berwibawa. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik/warga belajar dan memiliki perilaku yang disegani.
(5) Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik/warga belajar.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan Pendidiksebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik/warga belajar, sesama pendidik, tenaga Kependidikan, orang tua/wali peserta didik/warga belajar, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut.
(1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik/warga belajar, baik lisan maupun tulisan. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik/warga belajar.
(2) Mampu berkomunikasi dan bermitra secara efektif dengan sesama Pendidikdan tenaga Kependidikan.
(3) Mampu berkomunikasi dan bermitra secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik/warga belajar dan masyarakat sekitar, sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadat.


4. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kemam puan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum, mata pelajaran di satuan PNF dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai PTK-PNF. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi tersebut memiliki subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
a. Menguasai substansi keilmuan sosial dan ilmu lain yang terkait bidang studi. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum satuan PNF; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari.
b. Menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan/materi pembela jaran.

Minggu, 05 April 2009

ponorogo

Profil Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Ponorogo secara geografis terletak antara 111o17 - 111o52 BT dan antara 7o49 -8o20 LS. Kabupaten ini di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magetan, kabupaten Madiun, Kabupaten Nganjuk, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten tulung Agung dan Kabupaten Trenggalek, disebelah selatan berbatasan dengan Kabupeten Pacitan sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Pacitan dan Kabupaten wonogiri. Luas wilayah kabupaten ponorogo 1.371,78 Km2.
Pada tahun 2006 Kabupaten ini mempunyai jumlah penduduk 919.392 jiwa yang terdiri dari 452.231 jiwa pria dan 467.161 jiwa wanita dengan kepadatan penduduknya sendiri mencapai 646 per Km2 Kabupaten Ponorogo pada tahun 2006 memiliki beberapa komoditi unggulan di sektor perkebunan. Komoditi yang dihasilkannya antara lain, berupa kelapa dalam dengan jumlah produksi sebesar 3.732 ton dan kopi arabika dengan jumlah produksi sebesar6ton.
Dilihat dari segi ekonomi, total nilai PDRB yang dicapai Kabupaten Ponorogo paada tahun 2006 sebesar 2.694.520.700(dalam jutaan rupiah) dengan konstribusi terbesar berasal dari sektor pertanian, sektor jasa dan dari sektor industri pengolahan.
Kabupaten Ponorogo yang terkenal dengan reog ponorogo ini memiliki wilayah yang tandus, meskipun gersang dan tandus, sektor pertanian masih menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi dengan hasil pertaniannya berupa padi, ubi kayu, kacang kedelai, kacaang hijau dan tebu.
Satu lagi obyek wisata yang yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan secara matang dan terpadu. Di sektor pertambangan dan galian terdapat batu marmer yang telah digali dan dikembangkan di Kecamatan Ngrayun.

Sumber Data:
Jawa Timur Dalam Angka 2007