Ditulis oleh Kasmuji ‘Jojo’ Raharja
Sebuah Refleksi Pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan di Lapangan.
Rasional
Merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 1 bahwa pendidikan nonformal, termasuk pendidikan kesetaraan berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka life long- education. Lebih jauh disebutkan bahwa lulusan pendidikan nonformal diakui setara dengan pendidikan formal.
Selanjutnya menurut acuan pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah tahun 2006, peserta pendidikan kesetaraan adalah penduduk dengan kaakteristik sebagai berikut, (1) penduduk yang memiliki potensi khusus, (2) penduduk yang terkendala waktu untuk sekolah, seperti pengrajin, buruh, dan pekerja lainnya, (3) penduduk terkendala geografi, mereka adalah etnik minoritas, suku terasing dan terisolir, (4) penduduk yang terkendala ekonomi seperti penduduk miskin dari kalangan nelayan, petani, penduduk kumuh dan miskin perkotaan, pekerja rumah tangga, dan tenaga kerja wanita, (5) penduduk terkendala faktor keyakinan seperti warga pondok pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah), dan (6) penduduk yang bermasalah sosial/hukum seperti anak jalanan, anak lapas, dan korban napza. (http://www.sekolahmaya.net/data/Acuan%20Pelaksanaan.pdf). Dari semua karakteristik tersebut sasaran difokuskan pada penduduk dengan rentang usia tiga tahun di atas usia sekolah yang setara sampai pada usia empat puluh empat tahun.
Dengan terbitnya undang-undang tersebut sebetulnya sudah mempertegas posisi pendidikan kesetaraan terutama pada pasal yang menyebutkan kesetaraan dengan pendidikan formal dalam hal lulusannya. Selama ini masyarakat masih menganggap bahwa program paket A, B, dan C bukanlah merupakan sebuah ‘sekolah’, walau mereka juga tidak tahu harus menyebut apa. Dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat baik yang tersirat maupun tersurat, barangkali memang tidak salah jika fungsi pendidikan nonformal - dalam hal ini program paket A, B, dan C - tidak lebih sebagai ban serep atau sebagai sekolah ongko loro.
Kendala yang dihadapi
Melaksanakan program kesetaraan di masyarakat merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Sangat jarang didengar keberhasilan penyelenggaraan program ini secara sempurna. Kalaupun penyelengagara program mampu mengantar peserta didik program ini sampai lulus UAN, kita patut bertanya pada diri kita sendiri: Apakah program yang kita laksanakan telah benar-benar mengantar mereka pada ‘jalan yang benar’?
Belum suksesnya program pendidikan kesetaraan yang telah dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga pemerintah (baca SKB) bukan karena tanpa sebab. Sesuai dengan karakteristik sasaran program kesetaraan, secara eksplisit memang telah disebutkan bahwa peserta program pendidikan nonformal kesetaraan adalah mereka yang terkendala/bermasalah dalam segala hal (cf. acuan pelaksanaan) sehingga penanganan program ini memang harus benar-benar extra. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan kesetaraan menjadi termarjinalkan dan menjadi prioritas yang ke sekian. Hal ini menjadi masuk akal karena apabila dilihat dari jumlah mereka yang relatif sedikit dibanding mereka yang menempuh jalur formal.
Keberadaan warga belajar
Seperti kita ketahui sampai saat ini masih ada sebagian dari masyarakat usia sekolah yang belum bisa menikmati pendidikan atau lebih tepatnya tersentuh oleh program pendidikan. Kita ambil contoh program Paket A. Ada beberapa penyelenggara pendidikan pemerintah yang ‘menolak’ menyelenggarakan program pendidikan ini dengan alasan-alasan klasik – warga belajar terpencar di beberapa desa yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan secara berkelompok. Tentu saja hal ini sangat ironis. Namun kita tidak bisa dengan serta merta menjustifikasi bahwa mereka tidak bertanggungjawab. Perlu ada kajian yang lebih mendalam mengapa mereka menolak melaksanakan program tersebut.
Tidak demikian halnya dengan program Paket B. Kalau kita lihat dari output memang sudah banyak warga masyarakat yang ‘lulus’ melalui program ini. Tetapi kalau kita tinjau lebih dalam dari sekian jumlah kelompok yang diselenggarakan, beberapa di antara mereka masih berasaskan ‘yang penting jalan’. Artinya, saat ujian semester dan ujian akhir warga belajar tetap mengikuti walaupun pada aktivitas sehari-hari masih sangat minim tingkat absensi kehadirannya. Hal ini bukan semata-mata penyelenggara yang salah, tetapi di mata warga belajar program pendidikan kesetaraan (baca=sekolah) memang tidak menarik. Mereka bercermin pada masyarakat di sekitarnya bahwa banyak dari kalangan mereka yang sekolah toh masih juga menganggur di rumah. Kalau dicermati memang ada masalah motivasi pada diri warga masyarakat untuk secara suka rela mengikuti program ini karena masyarakat kita masih berpikir pragmatis, untuk apa ikut program kesetaraan jika tidak ada hasil yang segera dapat dinikmati.
Lain lagi dengan program Paket C. Selama program ini diluncurkan ‘nampaknya’ masyarakat antusias menyambutnya. Hal ini bisa dilihat dari jumlah peserta ujian Paket C. Jika kita hanya melihat pada sisi jumlah lulusan dari program ini maka kita terjebak pada keberhasilan yang semu. Berapa banyak dari peserta ujian Paket C yang sebenarnya telah lulus pendidikan formal sebelumnya dari tingkat yang sama dan berapa banyak yang mengikuti pendidikan secara reguler? Sampai saat ini sebagian peserta banyak peserta program Paket C yang hanya menginginkan ijasahnya karena pada dasarnya mereka sudah mengantongi ijasah setingkat SLTA. Peserta program Paket C mengikuti program ini karena kepentingan-kepentingan strategis. Atau bahkan yang lebih menyedihkan lagi, hanya menghendaki cara-cara instan untuk memperoleh ijasah setara SMA: sungguh terlalu! Banyak bukti yang memperkuat hal tersebut.
Program Pembelajaran
Tujuan pendidikan luar sekolah yang merupakan perwujudan dari visi dan misi Pendidikan Luar Sekolah yang dirilis oleh Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal (2007) menyebutkan bahwa:
Masyarakat memperoleh layanan pendidikan kesetaraan yang bermutu, relevan, dan berkelanjutan untuk menunjang penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memperluas akses pendidikan menengah dengan lebih menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional (www.pls.depdiknas.go.id © 2007)
Pada pernyataan tujuan di atas terdapat kata-kata ‘... dengan lebih menekankan pada keterampilan fungsional...’. Tujuan ini nampaknya belum didukung dengan perencanaan pembiayaan yang semestinya. Kalau dilihat dari DIPA untuk program kesetaraan tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, anggaran dana untuk keterampilan masih kurang dari sepuluh persen dari total biaya penyelenggaraan baik untuk program Paket A, B, maupun C. Boleh dikatakan bahwa pemerintah sendiri tidak memihak pada program dan tujuan yang telah dicanangkan sendiri.
Selain itu anggaran sudah disusun secara top down dan begitu rigid sehingga pelaksanaan di lapangan menjadi terbatas. Ini memang bisa dimaklumi untuk menghindari penyimpangan tetapi hal ini juga mematikan inovasi-inovasi yang mungkin bisa dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kesetaraan.
Alternatif
Tindakan ekonomi menyebutkan bahwa kita harus menekan biaya yang serendah rendahnya untuk memeperoleh hasil yang setinggi-tingginya. Di pihak lain kata-kata bijak orang Jawa megatakan jer basuki mowo beya. Artinya kita harus mempertimbangkan antara biaya dan tujuan, mana yang akan kita dahulukan – penghematan biaya atau penuntasan wajib belajar. Berdasarkan amanat undang-undang dasar maka tidak ada alasan untuk tidak meningkatkan anggaran pendidikan. Dengan demikian maka inovasi-inovasi penyelenggaraan program bisa terlaksana untuk menuntaskan program wajib belajar.
Untuk mengatasi masalah motivasi, reward and punishment perlu diterapkan. Untuk menuntaskan program wajib belajar jika perlu bagi masyarakat usia sekolah yang belum menuntaskan pendidikan dasar tidak diterbitkan kartu identitasnya (KTP). Dengan hukuman seperti itu ke depan yang bersangkutan tidak akan bisa menggunakan hak-haknya sebagai warga negara tanpa kartu identitas yang sah. Tentu saja hal ini harus dipertimbangkan lebih jauh dan ada koordinasi dengan instansi terkait.
Selain itu, kita perlu kembali kepada kithoh pendidikan luar sekolah yang lebih memprioritaskan pada keterampilan fungsional selain pengetahuan. Memang kita perlu menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, namun pada dasarnya yang diperlukan masyarakat sekarang ini adalah keterampilan untuk memeperoleh nafkah. Dengan begitu maka program-pogram pendidikan kesetaraan menjadi menarik untuk diikuti oleh warga masyarakat yang sudah mulai kehilangan motivasi untuk mengikutinya.
Alternatif lain adalah dengan menjadikan pendidikan kesetaraan lebih fokus pada bidang tertentu – pengetahuan atau keterampilan. Dengan melakukan identifikasi kebutuhan belajar secara lebih cermat dan detil kita dapat mengarahkan warga belajar pada minat dan kemampuan yang sesuai dengan keinginan mereka. Warga belajar dengan intelektual yang tinggi diarahkan untuk menguasai pengetahuan untuk dapat melajutkan pada jenjang yang lebih tinggi, sedangkan warga belajar dengan intelektual yang biasa lebih diarahkan pada penguasaan keterampilan fungsional.
Penutup
Penuntasan program wajib belajar melalui pendidikan kesetaraan menjadi sangat urgen untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Bahkan pemintah sendiri melakukan program percepatan penuntasan wajib belajar sesuai dengan jangka waktu yang telah dicanangkan. Namun demikian kegiatan ini harus dibarengi dengan evaluasi dan inovasi-inovasi sehingga program kesetaraan sebagai break through program wajib belajar menjadi suatu hal yang menarik untuk diikuti oleh mereka yang seharusnya terlibat. Jika tidak maka kita akan terjebak pada rutinitas yang selama ini kita lakukan dan tetap stagnan tanpa ada inovasi dan perkembangan yang berarti. Munginkah terjadi? Jawabannya ada dalam hati kita!
*penulis adalah Pamong Belajar SKB Gudo, Kab. Jombang
Merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 1 bahwa pendidikan nonformal, termasuk pendidikan kesetaraan berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka life long- education. Lebih jauh disebutkan bahwa lulusan pendidikan nonformal diakui setara dengan pendidikan formal.
Selanjutnya menurut acuan pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah tahun 2006, peserta pendidikan kesetaraan adalah penduduk dengan kaakteristik sebagai berikut, (1) penduduk yang memiliki potensi khusus, (2) penduduk yang terkendala waktu untuk sekolah, seperti pengrajin, buruh, dan pekerja lainnya, (3) penduduk terkendala geografi, mereka adalah etnik minoritas, suku terasing dan terisolir, (4) penduduk yang terkendala ekonomi seperti penduduk miskin dari kalangan nelayan, petani, penduduk kumuh dan miskin perkotaan, pekerja rumah tangga, dan tenaga kerja wanita, (5) penduduk terkendala faktor keyakinan seperti warga pondok pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah), dan (6) penduduk yang bermasalah sosial/hukum seperti anak jalanan, anak lapas, dan korban napza. (http://www.sekolahmaya.net/data/Acuan%20Pelaksanaan.pdf). Dari semua karakteristik tersebut sasaran difokuskan pada penduduk dengan rentang usia tiga tahun di atas usia sekolah yang setara sampai pada usia empat puluh empat tahun.
Dengan terbitnya undang-undang tersebut sebetulnya sudah mempertegas posisi pendidikan kesetaraan terutama pada pasal yang menyebutkan kesetaraan dengan pendidikan formal dalam hal lulusannya. Selama ini masyarakat masih menganggap bahwa program paket A, B, dan C bukanlah merupakan sebuah ‘sekolah’, walau mereka juga tidak tahu harus menyebut apa. Dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat baik yang tersirat maupun tersurat, barangkali memang tidak salah jika fungsi pendidikan nonformal - dalam hal ini program paket A, B, dan C - tidak lebih sebagai ban serep atau sebagai sekolah ongko loro.
Kendala yang dihadapi
Melaksanakan program kesetaraan di masyarakat merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Sangat jarang didengar keberhasilan penyelenggaraan program ini secara sempurna. Kalaupun penyelengagara program mampu mengantar peserta didik program ini sampai lulus UAN, kita patut bertanya pada diri kita sendiri: Apakah program yang kita laksanakan telah benar-benar mengantar mereka pada ‘jalan yang benar’?
Belum suksesnya program pendidikan kesetaraan yang telah dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga pemerintah (baca SKB) bukan karena tanpa sebab. Sesuai dengan karakteristik sasaran program kesetaraan, secara eksplisit memang telah disebutkan bahwa peserta program pendidikan nonformal kesetaraan adalah mereka yang terkendala/bermasalah dalam segala hal (cf. acuan pelaksanaan) sehingga penanganan program ini memang harus benar-benar extra. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan kesetaraan menjadi termarjinalkan dan menjadi prioritas yang ke sekian. Hal ini menjadi masuk akal karena apabila dilihat dari jumlah mereka yang relatif sedikit dibanding mereka yang menempuh jalur formal.
Keberadaan warga belajar
Seperti kita ketahui sampai saat ini masih ada sebagian dari masyarakat usia sekolah yang belum bisa menikmati pendidikan atau lebih tepatnya tersentuh oleh program pendidikan. Kita ambil contoh program Paket A. Ada beberapa penyelenggara pendidikan pemerintah yang ‘menolak’ menyelenggarakan program pendidikan ini dengan alasan-alasan klasik – warga belajar terpencar di beberapa desa yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan secara berkelompok. Tentu saja hal ini sangat ironis. Namun kita tidak bisa dengan serta merta menjustifikasi bahwa mereka tidak bertanggungjawab. Perlu ada kajian yang lebih mendalam mengapa mereka menolak melaksanakan program tersebut.
Tidak demikian halnya dengan program Paket B. Kalau kita lihat dari output memang sudah banyak warga masyarakat yang ‘lulus’ melalui program ini. Tetapi kalau kita tinjau lebih dalam dari sekian jumlah kelompok yang diselenggarakan, beberapa di antara mereka masih berasaskan ‘yang penting jalan’. Artinya, saat ujian semester dan ujian akhir warga belajar tetap mengikuti walaupun pada aktivitas sehari-hari masih sangat minim tingkat absensi kehadirannya. Hal ini bukan semata-mata penyelenggara yang salah, tetapi di mata warga belajar program pendidikan kesetaraan (baca=sekolah) memang tidak menarik. Mereka bercermin pada masyarakat di sekitarnya bahwa banyak dari kalangan mereka yang sekolah toh masih juga menganggur di rumah. Kalau dicermati memang ada masalah motivasi pada diri warga masyarakat untuk secara suka rela mengikuti program ini karena masyarakat kita masih berpikir pragmatis, untuk apa ikut program kesetaraan jika tidak ada hasil yang segera dapat dinikmati.
Lain lagi dengan program Paket C. Selama program ini diluncurkan ‘nampaknya’ masyarakat antusias menyambutnya. Hal ini bisa dilihat dari jumlah peserta ujian Paket C. Jika kita hanya melihat pada sisi jumlah lulusan dari program ini maka kita terjebak pada keberhasilan yang semu. Berapa banyak dari peserta ujian Paket C yang sebenarnya telah lulus pendidikan formal sebelumnya dari tingkat yang sama dan berapa banyak yang mengikuti pendidikan secara reguler? Sampai saat ini sebagian peserta banyak peserta program Paket C yang hanya menginginkan ijasahnya karena pada dasarnya mereka sudah mengantongi ijasah setingkat SLTA. Peserta program Paket C mengikuti program ini karena kepentingan-kepentingan strategis. Atau bahkan yang lebih menyedihkan lagi, hanya menghendaki cara-cara instan untuk memperoleh ijasah setara SMA: sungguh terlalu! Banyak bukti yang memperkuat hal tersebut.
Program Pembelajaran
Tujuan pendidikan luar sekolah yang merupakan perwujudan dari visi dan misi Pendidikan Luar Sekolah yang dirilis oleh Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal (2007) menyebutkan bahwa:
Masyarakat memperoleh layanan pendidikan kesetaraan yang bermutu, relevan, dan berkelanjutan untuk menunjang penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memperluas akses pendidikan menengah dengan lebih menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian profesional (www.pls.depdiknas.go.id © 2007)
Pada pernyataan tujuan di atas terdapat kata-kata ‘... dengan lebih menekankan pada keterampilan fungsional...’. Tujuan ini nampaknya belum didukung dengan perencanaan pembiayaan yang semestinya. Kalau dilihat dari DIPA untuk program kesetaraan tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, anggaran dana untuk keterampilan masih kurang dari sepuluh persen dari total biaya penyelenggaraan baik untuk program Paket A, B, maupun C. Boleh dikatakan bahwa pemerintah sendiri tidak memihak pada program dan tujuan yang telah dicanangkan sendiri.
Selain itu anggaran sudah disusun secara top down dan begitu rigid sehingga pelaksanaan di lapangan menjadi terbatas. Ini memang bisa dimaklumi untuk menghindari penyimpangan tetapi hal ini juga mematikan inovasi-inovasi yang mungkin bisa dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kesetaraan.
Alternatif
Tindakan ekonomi menyebutkan bahwa kita harus menekan biaya yang serendah rendahnya untuk memeperoleh hasil yang setinggi-tingginya. Di pihak lain kata-kata bijak orang Jawa megatakan jer basuki mowo beya. Artinya kita harus mempertimbangkan antara biaya dan tujuan, mana yang akan kita dahulukan – penghematan biaya atau penuntasan wajib belajar. Berdasarkan amanat undang-undang dasar maka tidak ada alasan untuk tidak meningkatkan anggaran pendidikan. Dengan demikian maka inovasi-inovasi penyelenggaraan program bisa terlaksana untuk menuntaskan program wajib belajar.
Untuk mengatasi masalah motivasi, reward and punishment perlu diterapkan. Untuk menuntaskan program wajib belajar jika perlu bagi masyarakat usia sekolah yang belum menuntaskan pendidikan dasar tidak diterbitkan kartu identitasnya (KTP). Dengan hukuman seperti itu ke depan yang bersangkutan tidak akan bisa menggunakan hak-haknya sebagai warga negara tanpa kartu identitas yang sah. Tentu saja hal ini harus dipertimbangkan lebih jauh dan ada koordinasi dengan instansi terkait.
Selain itu, kita perlu kembali kepada kithoh pendidikan luar sekolah yang lebih memprioritaskan pada keterampilan fungsional selain pengetahuan. Memang kita perlu menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, namun pada dasarnya yang diperlukan masyarakat sekarang ini adalah keterampilan untuk memeperoleh nafkah. Dengan begitu maka program-pogram pendidikan kesetaraan menjadi menarik untuk diikuti oleh warga masyarakat yang sudah mulai kehilangan motivasi untuk mengikutinya.
Alternatif lain adalah dengan menjadikan pendidikan kesetaraan lebih fokus pada bidang tertentu – pengetahuan atau keterampilan. Dengan melakukan identifikasi kebutuhan belajar secara lebih cermat dan detil kita dapat mengarahkan warga belajar pada minat dan kemampuan yang sesuai dengan keinginan mereka. Warga belajar dengan intelektual yang tinggi diarahkan untuk menguasai pengetahuan untuk dapat melajutkan pada jenjang yang lebih tinggi, sedangkan warga belajar dengan intelektual yang biasa lebih diarahkan pada penguasaan keterampilan fungsional.
Penutup
Penuntasan program wajib belajar melalui pendidikan kesetaraan menjadi sangat urgen untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Bahkan pemintah sendiri melakukan program percepatan penuntasan wajib belajar sesuai dengan jangka waktu yang telah dicanangkan. Namun demikian kegiatan ini harus dibarengi dengan evaluasi dan inovasi-inovasi sehingga program kesetaraan sebagai break through program wajib belajar menjadi suatu hal yang menarik untuk diikuti oleh mereka yang seharusnya terlibat. Jika tidak maka kita akan terjebak pada rutinitas yang selama ini kita lakukan dan tetap stagnan tanpa ada inovasi dan perkembangan yang berarti. Munginkah terjadi? Jawabannya ada dalam hati kita!
*penulis adalah Pamong Belajar SKB Gudo, Kab. Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar